Joko Pinurbo, penyair Indonesia, mengatakan bahwa setelah kematian Chairil Anwar, Indonesia mengalami kelangkaan penyair berkualitas. Namun, nyatanya banyak bermunculan penyair-penyair muda. Dan karya-karya mereka sudah bermunculan dan bisa dinikmati khalayak ramai. Beberapa di antaranya adalah Norman Erikson, Ni Made Purnama Sari dan Cyntha Hariadi yang hari ini tampil sebagai para pemenang Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2016 yang berlangsung di Amber Jakarta.
Menanggapi pernyataan Joko Pinurbo yang dikutip seorang hadirin, Norman berpandangan para penulis dan penyair memiliki tantangannya masing-masing sehingga tidak perlu terlalu terpaku dengan kejayaan penyair dan penulis di masa lalu. Cyntha dan Ni Made Purnama Sari menegaskan penyair muda tak perlu meniru penyair senior yang lebih terkenal.
Ketiganya terpilih dengan proses yang cukup panjang dan melelahkan. Menurut penuturan Mikael Johani, salah satu juri lomba Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015 selain Joko Pinurbo dan Oka Rusmini ini, dari 574 naskah puisi yang masuk, terpilihlah tiga manuskrip yang terbaik dengan alasan bahwa manuskrip ketiga penyair ini:
1. Menawarkan keberagaman dalam tema ,
2. Menunjukkan keunggulan gaya berpuisi, dan
3. Menunjukkan teknik penulisan yang terbaik dari yang terkumpul.
Ditanya apakah ia menulis puisi dengan keinginan agar karyanya abadi, Norman tak mempermasalahkan karena ia menulis untuk masa kini tanpa banyak memusingkan keharusan dikenang banyak orang di era anak cucu. Ni Made juga tidak mempermasalahkan soal itu sebab ia yakin yang perlu menjadi fokusnya berpuisi ialah bagaimana agar puisinya mampu mewakili zamannya sendiri.
Cyntha Hariadi yang menerima kabar gembira kemenangannya pada hari ibu tahun lalu melalui surel itu mengatakan dirinya tidak percaya pada awalnya. “Saya sebenarnya bukan penyair. Tapi peminat saja. Saya bekerja sebagai copywriter iklan,” ujarnya yang merasa bangga bersama dengan dua pemenang lainnya. Buku puisinya yang berjudul “Ibu Mendulang, Anak Berlari” menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai ibu yang selalu diagungkan dan disucikan namun ia juga menambahkan aspek-aspek lain dari seorang ibu. Bisa dikatakan buku ini merangkum hubungan ibu dan anak.
Sementara itu, Norman sendiri tidak begitu yakin tetapi saat itu ia baru percaya jika dipanggil. Ia baru percaya saat mereka bertiga bertemu. Sebelumnya Norman sudah menerbitkan kumpulan cerpen yang begitu panjang. Menurut Norman yang suka bermain dalam menulis, puisi memaksanya memadatkan dan meringkaskan gagasan dan pesan yang ingin ia sampaikan.
Ini berbeda dari proses menulis cerpen. Norman menerbitkan buku kumpulan puisi “Sergius Mencari Bacchus” yang terilhami oleh kisah Sergius dan Bacchus yang merupakan dua prajurit di masa Romawi yang memiliki kedekatan. Menurutnya inilah kisah bertema LGBT yang tersimpan dalam khasanah literatur sejarah gereja Katholik.
Ni Made Purnamasari memilih menjelaskan makna dalam judul buku puisinya “Kawitan” yang merujuk pada awalan. “Empat puluh dua puisi dalam buku ini merupakan pemaknaan saya atas asal muasal saya tadi,” jelas perempuan bersuara berat itu. Dalam sebuah puisi ia mengangkat tanah kelahirannya Bali dan membuatnya mempertanyakan asal mula. Di bagian kedua ia mengangkat pertanyaan asal mula tetapi mulai meninggalkan batasan etnosentris/ kedaerahan.
Ada yang menggelitik saat Norman ditanya saran apa yang ia sampaikan pada Dewan Kesenian Jakarta. “Jangan korupsi!” Dan kami semua tertawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H