Pagi tadi saya baru saja menemukan sebuah cuitan (tweet) mengenai kelas menulis yang diadakan seorang editor terkemuka. Kelas menulis itu sungguh mahal, jika dibandingkan dengan sekolah menulis lainnya. Bahkan ddibandingkan dengan sekolah menulis sejenis yang dibuat Jonru (yang hampir saya masuki dulu), dan punya seorang penulis terkenal di sebuah lembaga kebudayaan. Selisihnya bisa satu juta perak. Relatif besar bagi mereka yang peka harga seperti saya.
Beberapa orang teman menyarankan saya ikut. "Mungkin itu bagus untukmu,"saran mereka. Namun, saya masih menimbang-nimbang lagi. Benak saya masih penuh dengan sejumlah pertimbangan.
Soal semacam ini membuat saya teringat dengan pendidikan formal saya sendiri yang juga bertema sastra. Saya kuliah di jurusan sastra lalu melanjutkan lagi di jurusan yang sama. Intinya saya sudah 6 tahun belajar sastra. Namun, tulisan-tulisan yang saya bisa hasilkan selama ini 'hanyalah' analisis, tugas-tugas kuliah, telaah, skripsi dan tesis. Saya bahkan belum pernah mencoba menulis artikel untuk jurnal ilmiah (yang saya pikir cuma penting bagi para dosen). Seorang dosen pernah menyarankan saya mencoba menulis ke media cetak. Tetapi saya masih gamang, apakah saya bisa memenuhi syarat itu? Alih-alih menyiapkan, gelar ini malah menjatuhkan semangat menulis saya. Kenapa? Karena pertaruhannya menjadi lebih besar. Jatuhnya semangat akan lebih besar jika saya gagal nanti. Jadi akan lebih aman jika saya tidak mencoba saja sekalian jadi. Keberhasilan memang tidak pernah tercapai namun kegagalan itu juga tidak akan terasa menyakitkan bagi ego saya. Kepengecutan dan kemalasan ini menjadi momok bagi saya untuk melaju.
Akhirnya yang saya bisa lakukan ialah menulis di blog sendiri. Di sini saya bisa menulis tanpa campur tangan editorial. Tanpa saringan. Semuanya suka-suka saya sendiri. Saya juga menjadikan Facebook sebagai sarana mengujicobakan tulisan saya. Saya hanya ingin tahu reaksi orang terhadap tulisan saya. Ada respon. Bagus, untungnya. Tetapi untuk menulis lebih serius dan panjang saya masih merasa butuh banyak jam terbang dan KEBERANIAN.Ya, bahkan pekerjaan yang cuma duduk dan mengetik ini pun membutuhkan keberanian layaknya seorang serdadu maju ke medan perang. Saya baru merasakannya setelah saya terjun dalam dunia kepenulisan buku sebagai ghostwriter baru-baru ini (sebelumnya saya bekerja sebagai reporter bisnis). Dan saya merasakan sendiri bahwa menulis buku -- yang notabene jauh lebih panjang dan membutuhkan alur dan struktur yang lebih sistematis daripada sebuah status di Facebook atau artikel ala kadarnya di blog pribadi). Hanya baru-baru ini saya mencoba untuk lebih berani dengan potensi saya dan bisa saya katakan dunia kepenulisan sangat membutuhkan pengalaman daripada gelar yang muluk-muluk.
Kalau Anda mau jadi penulis, yang Anda perlu lakukan hanyalah menulis. Itu saja. Sederhana. Begitu setidaknya simpulan saya selama ini. Seandainya saya sudah mulai menulis sejak dini, mungkin saya sudah relatif mapan sekarang dengan gaya menulis saya.
Terus terang saya agak tersentil saat penulis favorit saya Elizabeth Gilbert mengatakan kurang lebih begini:Kalau Anda mau menjadi penulis, menulis saja dan tidak perlu sekolah khusus. Dalam bukunya "Big Magic", Gilbert yang juga dikenal dengan memoar best seller-nya Eat Pray Love itu menandaskan seperti ini:
"Meskipun saya selalu tahu bahwa saya ingin menjadi penulis, dan saya sudah mengikuti sejumlah mata kuliah menulis saat menjadi mahasiswa dulu, saya memilih untuk tidak mendapatkan gelar akademik dalam seni menulis kreatif begitu selesai di New York University. Saya merasa kurang yakin dengan gagasan bahwa tempat terbaik bagi saya dalam menemukan suara saya ialah sebuah ruangan yang penuh dengan 15 penulis muda lainnya yang juga ingin menemukan suara mereka." (Big Magic: hal. 101-102)
Saya pikir itu ada benarnya juga, terutama dalam kasus saya. Saat saya mengenyam pendidikan tinggi, ada beberapa teman kuliah yang bahkan sudah menelurkan karya-karya sastra mereka sendiri meski tidak sampai menjadi terkemuka, tetapi mereka setidaknya sudah menemukan jalur dan suara itu. Sementara saya masih belum memulai sedikitpun. Dan keterlambatan itu malah membuat saya makin gentar untuk memulai.
Saya makin yakin bahwa sebaiknya menjadi penulis tidak perlu masuk sekolah tertentu ialah setelah saya membaca paparan Malcom Gladwell dalam bukunya "David and Goliath". Gladwell menjelaskan sebuah fenomena unik yang ia sebut relative deprivation (istilah yang pertama dipakai sosiolog Samuel Stouffer dalam Perang Dunia II). Inti istilah ini ialah bahwa manusia pada umumnya membentuk persepsi dan kesan tidak secara menyeluruh atau global (menempatkan dirinya dalam konteks yang seluas mungkin) tetapi hanya dengan membandingkan diri bersama orang-orang yang ada dalam "perahu yang sama" dengan kita. Persepsi mengenai seberapa kurang atau tertinggalnya kita dibandingkan orang lain itu nisbi, relatif, demikian ungkap Gladwell.
Dalam kasus seorang penulis muda yang ingin menjadi lebih baik, berkumpul dengan mereka yang sama-sama ingin menjadi penulis dengan tingkat kemampuan bervariasi dan senjang bisa mengakibatkan jatuhnya mental seseorang yang merasa kurang di dalam kumpulan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H