Lihat ke Halaman Asli

Akhlis Purnomo

TERVERIFIKASI

Copywriter, editor, guru yoga

Nyaris Jadi Agen Negara Islam Kurnia (Kisah Nyataku-1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Februari 2010 yang tidak akan terlupa. Sudah berbulan-bulan mencari pekerjaan dan mendapat tawaran di ibukota setelah beberapa bulan juga pernah mengadu untung melamar kerja di sana.

Orang bilang bersabar saja karena kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Ah, tidak juga. Itu namanya menyepelekan kegagalan. Kegagalan harus dihindari sebisa mungkin dan jikalau tak bisa terhindarkan pun, gunakan kegagalan itu untuk menghindari yang serupa di masa datang.

Kemiskinan finansial sering dianggap sebagai objek permakluman. Tak mengapa miskin harta, asalkan kaya hati. Itu lebih terdengar sebagai suatu apologi seorang pecundang. Mentalitas yang menjauhkan diri seseorang dari kepantasan mendapatkan rejeki yang sejati.

Saya pernah mendengar bagaimana seseorang berpendapat tentang ini. Katanya,”Uang memang bukan segalanya. Uang tak bisa menjamin kebahagiaan. Itu betul. Tetapi dengan tidak memiliki uang, niscaya ketidakbahagiaan juga sebuah takdir yang pasti dijelang. Uang bisa digunakan untuk melakukan banyak hal, termasuk menolong orang di sekitar kita.” Ada benarnya.

Kemiskinan dan ketiadaan pekerjaan juga membuat manusia lebih rawan dengan berbagai eksploitasi. Mereka yang miskin dan menganggur cenderung rela melakukan apa saja untuk mendaki tangga menuju sukses. Jangankan yang tidak terdidik, yang terdidik saja jika menganggur bisa putus asa dan melakukan kenekatan yang sama sekali tidak masuk akal karena tidak mencerminkan kematangan intelejensianya. Saya masih ingat dengan berita seorang lulusan universitas luar negeri di surat kabar tetapi tanpa pikir panjang ia melakukan tindak kriminal yang mencoreng muka sendiri.

Saya pernah merasakan sendiri bagaimana rapuhnya menjadi seseorang yang tidak memiliki pekerjaan. Tidak banyak yang tahu, saya pernah hampir menjadi sasaran agen perekrutan anggota baru Negara Islam Indonesia, atau “Negara Islam Kurnia” (demikian si agen rahasia menyebutnya).

Sebenarnya ini sudah berlangsung Februari 2010 lalu. Sudah lumayan lama. Saya hampir lupa detilnya tetapi tidak akan pernah lupa bagaimana sulitnya melepaskan diri dari cengkeraman mereka. Betul, seolah-olah saya tergiring selama beberapa jam dalam diskusi yang mereka rekayasa.

Saya kembali teringat pengalaman tersebut tatkala berkunjung ke kampus Universitas Indonesia di Depok Selasa kemarin saat meliput seminar di sana. Di sinilah peristiwa  itu menimpa saya 2,5 tahun lalu.

Begini ceritanya…

Karena panggilan sebuah wawancara dan tes pekerjaan di sebuah perusahaan teknologi dari negeri tirai bambu, saya pun ke kampus UI. Jika tak salah ingat itu di sekitar danau buatan dan jembatan merah. Mungkin itu fakultas Ilmu Budaya atau Teknik. Hmm, mungkin Teknik. Ya betul…Teknik.

Posisi yang saya lamar, saya masih ingat, ialah editor bahasa Inggris. Tes pertama yang berupa tes tertulis berhasil dilalui dengan relatif mudah. Cuma menulis. Sayangnya, saya hanya memiliki pengalaman menulis blog dalam bahasa Inggris, yang menurut si pewawancara belum memadai untuk kualifikasi editor yang mereka inginkan. Saya bisa baca pikiran 2 wanita muda Cina yang berada di hadapan saya setelah mereka menanyakan apakah saya sudah pernah menerbitkan sebuah buku. Saya langsung berpikir, “That’s obviously the end of me here.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline