Dulu saat anak-anak, aku dikenal sebagai seorang anak yang suka sekali dengan bendera merah putih. Ibuku guru SD dan pergi pulang dengan sepeda. Karena tidak ada yang mengasuh, kadang aku dibawa ibu ke sekolahnya. Di atas sepeda, kupegang bendera itu. Sembari sepeda dikayuh, angin semakin kencang meniup bendera. Dan aku juga semakin riang! Saat ibu sibuk mengajar, aku berada di halaman. Untuk apa? Untuk memandang bendera di tengah lapangan yang berkibar-kibar ditiup angin. Di sekolah ayahku, saat ditinggal bekerja, aku tidak mengeluh atau merengek harus ditemani. Cukup aku jelajahi setiap kelas dan kuambil semua bendera kecil di tiap ruangnya. Aku kumpulkan jadi satu dan kupandang. Elok nian mereka berkibar di tengah terik siang. Guru-guru pun bingung, semua bendera di kelas hilang. Saat mereka tahu aku duduk di halaman belakang sekolah dengan 6 bendera kecil itu, tidak ada yang memarahi. Mereka cuma menggerutu. Maklum, aku anak kandung kepala sekolah yang berkuasa. Lain lagi saat mendiang kakek mengajak ke kantor PEPABRI di kotaku. Saat kakek bertemu dan sibuk bergaul dengan teman-teman sepenanggungan saat masa revolusi dulu di dalam gedung, aku berada di luar. Demi untuk mencari-cari apakah ada bendera yang bisa dimainkan, aku rela melawan sinar mentari di tengah hari. Siapa peduli, asal bisa menatap sang saka merah putih berkibar. Bulan Agustus juga menjadi bulan kesukaanku karena begitu banyak bendera yang dikibarkan para penjual bendera di tepi jalan. Namun, semua perlahan-lahan berubah. Bendera itu berangsur menjadi benda dengan daya tarik biasa-biasa saja. Toh rasanya juga memalukan anak usia SD masih bermain bendera. Akan tetapi setidaknya aku masih menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, sebagai kompensasi atas surutnya antusiasme dan pemujaan terhadap bendera merah putih. Aku suka bagian mengarang saat ujian. Ada kebanggaan tersendiri saat meminta kertas folio tambahan. Meski karangan itu acak-acakan pun, rasanya begitu mengagumkan kalau bisa menuangkan imajinasi dalam waktu singkat. Saat hendak meninggalkan bangku sekolah dasar, anak penyuka bendera ini mulai berpaling ke bahasa Inggris. Bahasa Inggris terkesan begitu sulit dikuasai. Hanya kelompok borjuis elit yang menggunakan dengan lancar. Proletar? Hmm, tahu sepatah dua patah kata saja sudah beruntung. Masa kuliah menjadi hari-hari penuh pengkhianatan terhadap rasa nasionalisme linguistik. Tiada hari tanpa menekuni kamus, menghafal sekarung kosakata bahasa milik rakyat Ratu Elizabeth II, berlatih percakapan dengan pengucapan yang semirip aslinya, dan membaca karya-karya sastra penulis asing. Jika terdeteksi sedikit bunyi dan logat khas Indonesia, rasanya malu. "Aku tahu aku orang Indonesia tetapi di sini aku harus sebisa mungkin meniru para 'native speaker' yang agung", pikirku. Dan begitulah hari-hariku bergulir, tenggelam dalam lautan kata-kata bahasa asing. Seolah Inggris belum cukup, datang invasi verbal Jepang dan Korea dalam otakku. Setelah merasa mengalami 'sembelit' dalam berbahasa karena begitu banyaknya pilihan menu asing, akhirnya aku putuskan untuk berangsur kembali ke menu diet kebahasaan yang semula: bahasa Indonesia. Inilah beberapa cara yang kulakukan demi mendapatkan nasionalisme yang luntur itu. Cara 1: Mendengarkan musik Indonesia Musik Indonesia dengan lirik bahasa Indonesia merupakan langkah paling sederhana. Memang banyak bahasa gaul yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tetapi untuk memupuk cinta kepada bahasa sendiri, mengapa tidak? Perlu diketahui bahwa aku hampir tidak pernah mendengarkan musik Indonesia. Di harddisk laptop dan pemutar musik ponsel, tidak ada satu pun lagu Indonesia. Dan untuk yang satu ini, memang agak susah untuk aku karena tidak ada penyanyi Indonesia (terutama yang baru muncul) yang sungguh-sungguh aku sukai lirik dan lagunya. Cara 2: Membaca karya-karya sastrawan Indonesia Membaca karya-karya penulis Indonesia juga sangat mengasyikkan. Untuk yang satu ini sudah lazim bagi Anda yang suka membaca. Tetapi bagiku yang menghabiskan waktu kuliah berkutat di dunia sastra negara lain, ini bukan hal yang mudah dilakukan. Bagaimanapun novel yang ditulis dalam bahasa ibuku lebih mudah dicerna daripada buku-buku Shakespeare yang berbau apek di perpustakaan kampus. Dan untuk itu, aku mulai dengan sebuah buku ringan ber-genre komedi konyol: "Marmut Merah Jambu" besutan Raditya Dika. Buku ini terbukti sangat efektif untuk mengencangkan otot perut yang kendur. Dulu semasa kanak-kanak dan sekolah menengah memang aku suka membaca karya-karya penulis Indonesia, seperti N. H. Dini, dan... sudah lupa karena begitu lamanya. Bahkan beberapa novel picisan horor berbau seronok milik tanteku sudah pernah kubaca saat SD dan berakibat buruk karena imajinasiku menjadi lebih dewasa dari ragaku yang sebenarnya. Ragam bahasa yang digunakan dalam karya sastra berbeda dari bahasa Indonesia sempurna yang dibakukan. Namun, di situlah letak keindahan sastra. Tidak masalah dengan pemakaian bahasa gaul atau slang. Toh itu juga bukan dalam suatu lingkungan ilmiah. Cara 3: Menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar Bisa dikatakan cukup sulit untuk menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi jika kita tidak pernah menggunakannya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Blogku dalam bahasa Inggris. Bukan supaya terlihat gaya atau nasionalisme sudah meluntur, tetapi lebih karena bahasa Inggris diterima oleh Google Adsense sementara bahasa Indonesia belum. Itu saja. Dulu mengajar pun harus menggunakan bahasa Inggris. Karena mengajar Speaking dan Grammar, dengan sendirinya aku merasa berkewajiban memberikan teladan pada mahasiswa untuk menggunakan bahasa Inggris sesering mungkin. Sementara di rumah, aku tidak pernah tidak menggunakan bahasa daerah (Jawa). Jadi praktis, penggunaan bahasa Indonesia sangat terbatas. Menulis di Kompasiana menjadi sebuah cara untuk merestorasi semangat berbahasa Indonesia dalam bentuk tulisan. Terasa agak aneh saat pertama kali menulis dalam bahasa Indonesia (terakhir menulis dengan bahasa Indonesia hanya untuk tugas-tugas kuliah dan tesis- yang diselesaikan dengan sangat terseok-seok). Dengan mengatakan "menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar", bukan berarti aku mengharuskan diri sendiri untuk selalu menulis bak robot humanoid yang telah diprogram untuk selalu menulis dengan berpedoman pada EYD. Karena bahasa adalah alat, maka gunakanlah alat itu dengan baik dan benar sesuai konteks (situasi dan kondisi). Adalah sebuah kegilaan untuk terus menerus menulis dalam bahasa yang baku baik saat menulis makalah untuk tugas kampus, menulis buku harian, dan menulis surat cinta. Dan itu sama eksentriknya dengan tanpa henti menggunakan bahasa gaul saat bertukar pesan singkat, chatting, dan menulis pidato kenegaraan. Cara 4: Berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar Ini lebih menantang lagi (baca: sulit bukan kepalang). Berbicara dengan baik dan benar, menurutku, adalah suatu keahlian rumit yang harus dilakukan dalam waktu cepat. Seperti seorang pemain akrobat dalam Cirque du Soleil, kita harus bisa ber-juggling dengan puluhan piring saat mengendarai sepeda roda satu di atas seutas tali tambang di ketinggian seratus meter. Otak kita saat berbicara harus dipaksa mengolah berbagai informasi dan menatanya agar dapat keluar dari mulut dengan elegan dan lancar. Terlalu lambat berbicara akan terlihat dungu dan membosankan. Terlalu cepat sebaliknya akan membuka kesempatan lebih lebar untuk membuat kesalahan. Sungguh, berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah sebuah ketrampilan pelik yang perlu ribuan jam latihan. Serupa dengan menulis, berbicara juga perlu memperhatikan konteks. "Benar" di sini bisa berarti benar sesuai dengan lingkungan dan orang yang diajak bicara. Pengguna bahasa yang baik tahu kapan harus menggunakan bahasa Indonesia baku dan kapan bisa menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari. Cara 5: Buka kamus Seperti yang aku pernah tulis dalam sebuah komentar, gunakan kamus online KATEGLO.COM untuk mengetahui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akan lebih baik jika kita memiliki sebuah kamus dalam bentuk buku, terutama jika bekerja dalam bidang kebahasaan. Namun, untuk para pemalas nan pelit seperti aku, kamus online sudah cukup memadai. Cara 6: Bangga saat menggunakan bahasa Indonesia Dalam suatu rapat di kantorku, pernah aku dikejutkan dengan kometar teman yang bernada melecehkan bahasa Indonesia. Kala itu kami berdebat sengit tentang padanan kata beberapa istilah bahasa Inggris. Semua kata yang ada dalam KBBI rasanya sudah dilontarkan tetapi selalu saja ditolak karena terasa janggal dan tidak 'keren'. Ya, bahasa Indonesia memang tidak seperti bahasa Inggris yang 'keren'. Walaupun memang secara struktur dan makna, padanan kata dalam bahasa Indonesia itu memang tepat, masih saja terasa adanya ganjalan, seperti katanya dianggap terlalu panjang, 'norak', 'udik', dan sebagainya. Semua dalam bahasa Inggris terasa lebih padat, berisi, bergengsi dan terpelajar. Misalnya kata "home" (4 karakter, satu suku kata) menjadi "beranda" (7 karakter, 3 suku kata) atau "halaman depan" (2 kata, 17 karakter, 5 suku kata - lebih parah dari "beranda"). Dan yang lebih memprihatinkan, nampaknya hanya sedikit orang Indonesia tulen yang paham dengan istilah-istilah yang sudah dengan susah payah dibakukan tersebut, seperti pasangan "download" dan "unduh". Semoga dengan usaha yang sabar dan telaten, semua orang bisa lebih dekat dengan sitilah-istilah baru itu. Tetapi pertanyaannya kemudian menjadi: "Apakah semua itu menjadi landasan yang kuat untuk meninggalkan bahasa nasional?" Bagiku, tidak ada salahnya terasa aneh. Toh semua hal memang terasa aneh saat digunakan pertama kali. Itu aturan alam. Dengan sedikit waktu dan pembiasaan, semua akan teratasi. Cara 7: Miliki teman-teman dengan kemampuan bahasa Indonesia yang lebih baik Kata Nabi, berteman dengan penjual minyak wangi akan ikut terkena wanginya. Pakailah analogi yang sama saat mencari teman untuk belajar bahasa Indonesia (bukan berarti kita mengucilkan teman yang bahasa Indonesianya kacau balau). Lingkungan kita sangat mempengaruhi. Bagaimana bisa mengasah kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar jika teman-teman Anda semua berbicara dengan gaya 'alay' siang dan malam? Cara 8: Pelajari bahasa asing Bagaimana bisa mencintai bahasa Indonesia dengan mempelajari bahasa lain? Mungkin Anda semua mengira saya menulis setengah mabuk, tetapi akuilah bahwa kita selalu menyadari betapa berharganya sesuatu setelah kita kehilangan. Seorang teman yang hidup di dunia Anglosaxon pernah meratap di blognya, "Rindu ngobrol dengan bahasa Indonesia." Aku jawab,"Gampanglah bro, pakai Skype, GTalk, atau ponsel 3G." Jawabnya, "Bukan dengan itu. Aku mau yang face-to-face. Di sini sejauh radius 50km tidak ada orang Indonesia." Bahkan pernah suatu ketika ia menulis di blognya karena begitu girang telah menemukan sang saka merah putih berkibar di depan sebuah rumah di jalan yang ia lewati. Pekiknya dalam hati, "Ada orang Indonesia di sini!!!!" Hmm, sayangnya ia salah besar karena itu bendera kerajaan Monako. Sebuah tragikomedi. Dengan mempelajari bahasa asing, kita juga menjadi lebih sering belajar bahasa Indonesia. Kenapa? Karena dengan sendirinya kita selalu berupaya mencari terjemahan bahasa asing itu dalam bahasa Indonesia. Bagi seorang penerjemah pun juga berlaku hal yang sama. Ia harus menguasai bahasa pertamanya dengan baik agar bisa mengalihbahasakan dengan seakurat mungkin. Bagaimana bisa pembaca mengerti apa yang ia terjemahkan sedangkan bahasa Indonesia hasil terjemahannya terlalu 'absurd' untuk dibaca? Selain itu, belajar bahasa asing juga mengingatkan kita pada betapa mudahnya bahasa Indonesia sebenarnya. Bayangkan saja, di bahasa Inggris ada 16 tenses (12 tenses dasar dan 4 tenses lain yang lebih jarang digunakan). Di bahasa Indonesia? Lupakan semua rumus itu. Cukup gunakan keterangan waktu sesuai selera. Tidak ada infleksi rumit atau perubahan kata-kata yang melambangkan perbedaan fungsi dalam tata bahasa seperti pada bahasa-bahasa Indo Eropa. Misalnya dalam bahasa Inggris, "kid" (tunggal) menjadi "kids" (jamak), "dread" (infinitive) menjadi "dreaded" (past tense dan past participle). Itu belum perubahan yang tidak beraturan. Dalam bahasa Indonesia, semua itu lebih sederhana, cukup diulang dan ditambahkan tambahkan tanda hubung: "anak-anak". Kata kerja juga tidak berubah sama sekali meski waktunya berbeda. Semua itu menunjukkan kelebihan bahasa Indonesia. Terlebih lagi kita juga menggunakan alfabet romawi, bukan jenis yang aneh-aneh seperti dalam bahasa Asia Timur. Itu lebih mempercepat orang dalam mempelajari bahasa Indonesia. Jika semua itu tidak cukup membuat kita bersyukur memiliki bahasa Indonesia, mungkin ada baiknya mempertimbangkan berpindah kewarganegaraan dari sekarang. N.B.: Sebenarnya tidak tahu dalam rangka apa menulis artikel ini, tetapi karena banyak teman yang menulis dengan tema ini dan menurutku tema ini cukup berbobot, ya aku makmum saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H