Lihat ke Halaman Asli

Salam Shalawat

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


  1. Pertama saya ingin menyapa saudaraku yang mencintai Rasulullah, Assalamualaikum....

Kali ini saya datang dengan kisah tentang sebuah perjuangan atau lebih tepatnya sebuah pengalaman yang saya alami saat mengikuti Shalawat Seribu Rebana Jombang. Kalau ada yang belum tau apa itu Shalawat Seribu Rebana, saudara dapat membaca tulisan saya sebelumnya. Hehehe...

16 Januari 2014 bertempat di masjid Ar-Rahmah yang dekat dengan rumah mbah bolong di desa Watugaluh, masyarakat desa Tapen berbondong-bondong berangkat kesana untuk mengikuti peringatan maulid Nabi Muhammad SAW serta pengajian umum. Tentu saja, jam’iyah Seribu Rebana beserta vokal-vokal yang necis pun turut hadir.

Untuk mencapai lokasi, diperlukan kendaraan dengan kriteria : besar, murah, isi penumpang  banyak, dan dapat menjangkau medan ekstrim. Ya, truk adalah solusinya. Sistematika penjemputannya adalah truk keliling desa untuk menjemput para Jamiyah Shalawat. Proporsi penumpang laki-laki dan perempuan yang naik truk pada akhirnya sekitar 3:1. Lebih banyak laki-lakinya, padahal biasanya seimbang. Mungkin karena cuaca yang kurang bersahabat. Setiap penumpang dimintai bantuan seikhlasnya (ada juga yang ikhlas gak bayar, hehehe). Koordinator kita yang namanya Cak arif ini nih yang selalu istiqomah dan sabar menghadapi Jam’iyah Tapen yang terkadang bandel, jam karet misalnya.^o^

Setelah semua Jam’iyah telah naik ke atas mobil kebanggaan ini, kami berangkat. Beranjak dari Tapen sekitar pukul 19.00 WIB dalam cuaca mendung dengan disertai semilir angin yang dingin menusuk kulit, daging, hingga tulang. Hal tersebut dikarenakan mobil kebanggaan tersebut tidak memiliki atap. Hehehe...

Perjalanan kami sampai di daerah Ploso. Gerimis turun. Semua penumpang truk berdoa agar gerimis tersebut tidak menjadi hujan. Alhamdulillah...do’a kami dijabah oleh-Nya. Perjalanan selanjutnya lancar, aman, dan terkendali. Saat memasuki daerah Sambong hingga lokasi, saya terperangah. Hujan deras berhenti sesaat sebelum kami melewati daerah tersebut. Hal ini ditandai dengan banyaknya genangan air di jalan raya (maklum....banyak jalan berlubang ^,^). Betapa Allah sangat menyayangi kami, sehingga sampai lokasi dengan selamat pukul 20.00 WIB.

Sesampai disana, kami disambut oleh ibu-ibu yang membagikan konsumsi beserta 1 strip suplemen penjaga daya tahan (sensor merk). Acara telah sampai pada pembagian penghargaan bagi anak-anak yang berprestasi disana. Tak lama kemudian, para vokalis seribu rebana naik ke atas panggung. Cak Agus, salah satu vokalis yang suaranya aduhai mengambil alih. Beliau membuka dengan suluk yang Masya Allah....adem binggo dengernya.

Kemudian Ustadz Muhajirin memulai acara Shalawat Diba’. Curhat dikit nih, saat Ustadz Jirin, vokalis, dan masyarakat bersama-sama menyanyikan “Ya Rasulullah Ya Nabi”, jujur langsung membuat hati saya teriris, air mata saya selalu menetes saat mendengar lagu tersebut pada acara seribu rebana. Bukan sok agamis atau sok melankolis, kata “Syafa’ah” itulah yang membuat saya teringat akan segala kesalahan. Apakah nanti “disana”, saya manusia yang berlumur dosa ini, layak-kah mendapat syafa’ah darimu ya Rasul?. Pertanyaan itulah yang berkecambuk dalam benak saya.

Selanjutnya ini nih...ngefans banget sama Ustadz Muhdi Surur. Suaranya serak-serak basah dan dapat membawa kita ke alam “Haru”. Pada saat itu Ustadz Muhdi Surur bacain Laqadja akum dan Do’a. Pada saat baca do’a bersama, saya memasuki alam “Haru” itu. Tangis segera menyeruak kembali. Tak peduli lagi dengan orang-orang sekitar, saya menangis sepuas-puasnya.

Setelah shalawat diba’ usai, dilanjut dengan pengajian umum oleh K. H. Ahmad Wafiq dari Yogyakarta. Inspirasi beliau berasal dari kesalahan yang dibuat oleh salah satu Jam’iyah pada waktu itu (tak usah saya sebutkan karena agak memalukan, hehehe). Beliau adalah orang yang cerdas dan lucu. Kami dibimbing dengan cerita sejarah, dari kaum Shobiin hingga Khawarij, dari Tabi’in hingga sang hadratus syeikh.

Yang membuat kami semakin tertawa pingkal adalah, beliau menyebutkan bahwa “ngaos” yang telah beliau sampaikan selama kurang lebih satu setengah jam, masih pembukaan saja. Belum sampai pada isi (sebab belum ada kata “amma ba’du” gitu...hehehe). Kalau tetep dilanjut, bakal nginep di Watugaluh...^o^

Setelah Ustadz Wafiq menyelesaikan ceramahnya, mbah bolong menyampaikan kepada seluruh Jam’iyah untuk makan bersama di rumah. Beliau juga berkata bahwa akan sangat kecewa jika Jam’iyah tidak mengindahkan ajakannya.

Ya...saya beserta rombongan diarahkan oleh para keamanan yang ada di jalan untuk menuju ke rumah mbah bolong. Kami makan bersama di halaman rumah beliau. Makanan yang dihidangkan sederhana & enak. Namun yang terpenting dari itu semua adalah nilai kerukunan serta kebersamaan yang telah dibangun.

Semoga seribu rebana semakin banyak jam’iyahnya. Semoga mbah bolong panjang umur selalu. ^,^

Ay, 17 Januari 2015, 15.35 WIB.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline