Saya membaca beberapa artikel di Kompasiana yang menyinggung kata “sampah”. Secara pribadi penulis pun, mencoba memahami dan berpikir sebenarnya apa yang dimaksud dengan tulisan sampah. Benarkah media warga ini telah menjadi halaman belakang, seumpama kali yang mengalir dan disulap sebagai tempat pembuangan akhir sampah. Dimana setiap orang yang usai menulis, lalu membuangnya sembarangan di Kompasiana?
Rasa-rasanya tidak. Kecuali bila, tulisan atau artikel itu memang hanya dibuat serampangan, dan hanya sekedar untuk memenuhi hasrat agar memenuhi target kejar setoran. Di Kompasiana kita setiap hari menerima ratusan informasi yang biasanya (kadang) lebih cepat dari media radio, televisi dan surat kabar. Untuk mengimbanginya, pembaca memang harus mengomparasi dengan sajian berita yang terbit di media lainnya.Jadi tidak mengandalkan informasi pertama di Kompasiana sebagai satu-satunya sumber.
Kompasiana ini ibarat teras, ruang tamu, ruang makan, warung kopi, atau selasar dimana pembaca dan penulis bisa saling bertukar info dan pengalaman. Saya menikmati wadah bersama ini dengan cara itu. Bahwa yakinlah setiap judul yang menarik, dan kira-kira bermanfaat akan kita baca, komentari atau bahkan membaginya ke orang lain.
Istilah sampah kemudian timbul akibat terbitnya beragam tulisan, yang mungkin masih sebatas draf tapi langsung dikirim dan muncul di Kompasiana. Salah satu hal yang mesti dimiliki penulis adalah kesediannya memendam drafnya sebelum menyebarluaskan. Upaya verifikasi data dan infomasi sesuatu yang penting dalam standar jurnalistik. Ini harus dihormati semua orang yang menginginkan tulisan atau artikel diakses secara luas.
Saya sering mencoba merasai, apakah sebuah artikel yang saya baca ini hanya sebuah keluhan penulisnya, ataukah semacam taktik untuk menularkan satu isu menjadi gosip lebih besar, hingga menjangkau aspek yang sangat luas. Tulisan semacam itu pasti dibuat seseorang yang memakai sebutan atau nama menarik hingga kita tergoda membaca, dan mengikuti artikelnya setiap kali muncul.
Dan, beberapa artikel memang terkesan dibuat begitu saja. Bila semacam berita standar narasumbernya kerap tidak lengkap atau belum berimbang. Meski secara umum saya sangat menyukai ratusan feature di Kompasiana yang amat aduhai, karena memuat banyak share pengalaman di banyak negara.
Untuk menghindari kata sampah dari orang lain pakailah nama asli, sebaiknya jangan menggunakan anonim. Tingkat kepercayaan jelas lebih tinggi pada artikel dengan sumber terverifikasi, tulisan semacam itu juga dapat kita jadikan semacam bahan kutipan dalam diskusi di tempat lain. Walau nama samaran itu sesungguhnya memiliki sejumlah alasan untuk memakainya.
Perdebatan dan perbincangan mengenai artikel sampah atau bukan sampah di Kompasiana, sebuah cara bagi para penulis, dan juga admin untuk lebih mendorong dan meningkatkan kualitas wadah silaturahmi. Sebab untuk sementara ini telah menjadi tempat berbagi tanpa pamrih, dan juga mungkin berkenalan satu sama lain.
Sejatinya, Kompasiana ini ibarat ruang bebas, setiap orang bisa datang dan pergi begitu saja. Mungkin hanya sekedar untuk menitipkan pikiran, pengalaman, pengetahuan, informasi dari ruang senyap, dan ide cerdas mereka.
Kita hanya perlu meminta, bagi yang suka membuang “sampah” disembarang tempat, tolong jangan di sini. (*)
Padang Bulan Mandar, 18 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H