[caption id="attachment_402449" align="aligncenter" width="600" caption="Sungai Mandar/Kompas Travel"][/caption]
#Catatan untuk Festival Sungai Mandar, Sulawesi Barat
Sejarah besar sebagian bermula dari sungai. Batang air ini menjadi tempat dari berbagai peradaban besar kuno lahir di dunia. Lihatlah peradaban Mesir di lembah sungai Nil, sejarah Cina yang menyembul dari Sungai Huang Ho dan Sungai Kuning. Persia yang agung berhulu di sungai Eufrat dan Tigris. Juga tengoklah negeri India dengan sungai Gangga-nya.
Air sungai yang mengalir dari hulu jangan dipandang biasa-biasa saja. Sungai bersama elemen-elemen bemanfaat lainnya telah menyusun sistem keseimbangan dari beragam ekosistem yang tumbuh, termasuk manusia. Dan sungai Mandar, yang menjadi arus utama peradaban Balanipa di masa lalu telah mengabarkan itu hingga kini.
Tak banyak yang mengetahui bahwa Kerajaan Balanipa di masa lalu memiliki Pelabuhan Napo. Pertanyaannya dimana letak dermaga besar yang telah hilang dari peta bumi itu? Pembaca harus meyakini posisi pelabuhan Napo adalah rangkaian utama dari sungai Mandar. Tempat dimana para pedagang berbagai negara dan pelancong di abad XV-XVI masih ramai berkunjung.
Festival Sungai Mandar (FSM) 2015 kali ini membuat saya termangu. Bukankah kawan-kawan penggiat kebudayaan yang mengusung tema sungai ini, sedang mengait-ngaitkan daya ingat kulturnya tentang sebuah keramaian yang pernah tumpah, dan sibuk di tempat yang sama. Abad kejayaan di muara sungai ini memang telah lama hanyut. Namun pelan-pelan anak cucunya sedang membuat sauh dari tradisi baru. Menariknya dari temali sejarah.
Robert Dick-Read dalam buku Penjelajahan Bahari (2008) menulis bahwa orang-orang Mandar bersama ‘sepupu samuderanya’, orang Makassar-Bugis, telah menjangkau Madagaskar pada sekitar 10 abad lampau. Jauh melampaui kisah-kisah penjelajah dunia yang telah populer sebelumnya. Satu garis bawah yang penting adalah orang-orang Mandar itu tentu telah memiliki tempat mengangkat jangkar, atau sebuah pelabuhan yang tak biasa.
Dalam imajinasi penulis, tempat itu jelas Pelabuhan Napo yang berada di sekitar muara sungai Mandar. Pada bagian novel berlatar sejarah yang tengah penulis selesaikan, bayangan tentang pelabuhan yang pernah gegap, dan menjadi urat nadi masa lalu Balanipa itu juga dipaparkan sebagai bagian penting. Bukankah orang-orang Mandar pernah memiliki kontrol penuh atas kebijakan laut hingga Donggala sampai Gorontalo.
Pelabuhan Napo, jelas tertuang dalam Sejarah Kebudayaan Sulawesi (1995) yang ditulis Muchlis Paeni, EdwardPoelinggomang, Abdul Madjid Kallo, dan kawan-kawan lainnya. Ada tiga hal utama mengapa labuhan Napo itu hilang. Pertama, akibat pascaperang Makassar abad XVI yang menyebabkan seluruh pelabuhan yang berkaitan dengan kepentingan Gowa jatuh dalam kendali VOC. Pelabuhan-pelabuhan itu sebagian besar dihancurkan.
Kedua, sisa pelabuhan yang pernah ada itu benar-benar disapu “Lembong Tallu” atau tsunami yang pernah menghancurkan sebagian pesisir di Polewali Mandar-Majene. Ketiga, selain abrasi, juga tidak adanya upaya pemangku kebijakan untuk menggali pengetahuan, dan membangun situs itu sebagai artefak maritim yang baru.
Catatan untuk FSM 2015 ini mungkin amat emosional. Pergelaran yang menempatkan sungai sebagai panggung utama, maujud dari apa yang penah lahir di tempat ini ratusan tahun lalu. Mungkin dalam konteks dan keseimbangan yang berbeda. Namun kecintaan yang hendak dibangun di bantaran historis ini menggambarkan bahwa kehidupan dari sungai Mandar tetap berjalan.
Bila sungai Mandar dahulu telah menjadi sumber air bersih, transportasi, irigasi, dua tahun terakhir ini anak-anak muda inovatif di sana mampu mengemasnya sebagai destinasi pariwisata yang baru. Ini cara cerdas menemukan peluang melalui koordinasi tim, proses kreatif yang rumit, dan konsisten.
Rasanya elok bila mereka yang berkutat selama ini pada pengembangan pariwisata di daerah belajar pada tata kerja yang inventif di FSM. Ajang yang tumbuh dari inisiatif lokal ini akan menjadi arena studi banding dari waktu ke waktu. Penggagasnya tidak hanya mampu bekerja selama ini di daratan, tetapi juga melarung produktifitasnya di daerah aliran sungai.
Sungai Mandar sejatinya batang air yang mengalir melewati ratusan pemukiman. Melewati masa berbilang abad. Maka jangan biarkan kondisinya memamerkan wajah dan simbol kemiskinan. Penulis hendak mengatakan, sebuah sungai selalu menggambarkan tabiat siapapun yang memanggul kuasa di atas permukaannya. Simaklah bagaimana sungai-sungai menjadi inspirasi peradaban besar di banyak benua.
Festival yang digebu di sungai Mandar hanyalah pemula dari apa yang lebih banyak bisa diperbuat dari arus peradaban ini. Sungai itu adalah nadi yang mengantar dan mengalirkan energi ke tubuh. Yang selalu mengajarkan kita tentang tema mencintai, dan norma kearifan lokal. Dari sini kita dapat membangun kemegahan, empati, dan keindahan.
Dari sungai Mandar tahun ini kita akan kembali bisa menepuk-nepuk airnya. Untuk menguntai waktu, dan membasahi daya ingat agar kita kembali menyulam memori. Bahwa sungai Mandar tak sekedar mengalirkan daya magis dari hulunya yang jauh. Tetapi juga tengah mengirimkan kabar pada samudera. Simaklah dengan baik! (*)
Padang Bulan, 10 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H