Lihat ke Halaman Asli

Adi Arwan Alimin

Penulis Buku

Mamuju dalam Kanvas Lukisan Kota

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAYA tinggal di kota ini lebih dari satu dekade. Sejak akhir tahun 2004 silam, ragam pengalaman telah cukup memberi warna. Dari sebuah kota yang pengendara motornya dapat dihitung satu-satu di depan kantor kami, hingga semrawutnya jalanan karena banyak pemotor yang ugal-ugalan. 11 tahun terakhir bukan waktu yang pendek untuk memindai pengalaman itu.

Di sini, kami tidak kuatir pada pete-pete yang stop sembarangan layaknya situasi yang sibuk di Makassar, tetapi amat kuatir pada tingkah sebagian pengojek atau anak-anak sekolah dasar yang naik motor. Kota ini terus melebarkan diri, puluhan perumahan baru hingga kluster berdiri menantang langit Mamuju yang amat dekat garis khatulistiwa.

Cuaca di kota ini relatif cukup panas. Letaknya yang bersisian dengan pantai memuaikan udara dari laut ke daratan. Orang-orang yang baru datang dan tinggal di kota ini, rata-rata mengeluhkan kondisi itu, namun seiring waktu mereka pun dapat menyesuaikan diri. Ada yang menyebut terlihat lebih legam sejak menetap di Mamuju, namun bagi penulis perubahan warna kulit akibat papar matahari sepertinya tidak berasa. Masih banyak juga warga lain yang berkulit putih bersih.

Kota ini beranjak. Dulu dikenal dengan adagium Maju Mundur Jurang, tapi itu dulu. Sebab Mamuju memiliki kepanjangan lainnya, Maju Mundur (jadi) Jutawan. Itu mungkin terasa jumawa untuk mengenalkan kota ini. Tetapi sungguh, bila Anda melihat pergerakan Mamuju sepuluh tahun lalu dengan apa yang terbentang hari ini. Niscaya akan melihatnya sebagai kanvas lukisan yang makin berwarna.

Di sini peluang bisnis, dan pekerjaan khususnya sektor swasta sedang terbuka. Anda yang memiliki naluri untuk memulai usaha berbarengan dengan peluang yang diberikan kota ini, segeralah datang dan tentukan sendiri masa depanmu. Jangan kuatir, kuliner yang dahulu harganya selangit kini makin bersaing. Tarif kos-kosan pun mulai relatif murah. Meski ongkos ojek memerlukan cara menawar tersendiri.

Kini juga berdiri ratusan rumah toko di setiap sudut kota. Area yang dahulu berupa empang tak produktif telah disulap dengan bangunan aktivitas bisnis. Sebentar lagi, Mamuju akan bertabur 1.000 rumah toko, seumpama Kota Batam. Lonjakan itu bukan sesuatu yang tidak mungkin, mengingat kota ini berada di lintas bisnis Sulawesi-Kalimantan.

Memandang kota ini dari waktu ke waktu, sebagai warga, penulis ingin menekankan urgennya tata kota yang lebih ramah. Itu bisa dimulai dari gagasan satu ruko untuk satu pohon, satu rumah satu pohon, satu pohon untuk setiap kelas di sekolah. Atau mungkin berupa program lainnya. Sebab lihatlah di sayap kanan kota Mamuju, tebing dan bukit yang hijau itu terus dikeruk eskavator. Sementara penyeimbangnya tidak semasif derak pembangunan.

Ke depan landskap kota ini mungkin akan serupa Parepare, atau Balikpapan di malam hari yang elok dipandang pada malam hari, karena kilauan lampu. Eksotisme Mamuju akan dibincang karena brand kota yang menarik khalayak. Dari arah pantai telah ada satu ciri yang apik, Mamuju City yang berdiri di punggung “Anjoro Pitu”, tak jauh dari Sapota, rujab Bupati. Masih perlu landmark kota lainnya, sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Barat.

Dan, setiap kali hujan berkunjung ke kota ini pada waktu-waktu yang kurang dapat diprediksi, barulah saya menyadari bahwa Mamuju mulai sesak. Drainase di sekujur kota tak lagi mampu menampung deras air dari rumah-rumah, dari genangan, dari mana-mana. Mungkin ini bagian dari nafas perubahan yang menyergap kota-kota berkembang di Indonesia. Mamuju memang bukan lagi 10 tahun lalu.

Bila orang lain menyebut sampah makin bertumpuk-tumpuk, di mata penulis itu ciri lain dimana warga kota memiliki produktivitas tinggi. Bila warga makin sulit mendaftar di PLN untuk menerima jaringan baru, itu berarti jumlah warga yang membangun rumah kian bertambah. Di sejumlah area kaki lima bertumbuh. Ciri-ciri fisik kota Mamuju yang berkembang, makin terasa.

Dalam wawancara dengan Bupati Mamuju, Suhardi Duka di masa awal periodenya tahun 2005 silam, Kota Mamuju baru dihuni sekitar 50.000 warga. Kini jumlahnya hampir menyentuh angka 100.000 jiwa. Data ini mencakup Mamuju-Simboro akses BPS Mamuju, Selasa (24/2). Dengan membanding angka pemilih di Pemilu 2014 dikisaran 314.177 jiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline