Lihat ke Halaman Asli

Begitu Banyak Kesempatan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Umi…Umi… gimana kalau besok saja.” Farah berusaha membujuk Umi Aisyah, guru matematikanya.

“Tidak bisa, Farah.” Umi Aisyah mematikan laptopnya lalu memasukkan ke dalam tas.

“Apapun alasannya, Umi tunggu ba’da ashar. Halaman Shofiyah harus sudah bersih.” Umi Aisyah meninggalkan Farah.

Dalam hati, Farah begitu marah. Mengapa Umi Aisyah tidak mau mengerti dirinya. Membersihkan Shofiyah bukanlah hal yang gampang. Enak aja nyuruh-nyuruh anak orang. Belum lagi harus membawa tong sampah ke belakang Uhud. Udah berat, bau lagi. Hueks…

Tapi bagaimana pun juga, hukuman itu harus dijalankannya. Ini semua karena ia tidak ikut ngaji sore di halaman belakang kantor MTS. Bukan hanya sekali, tapi sudah sekitar 5 kali ia membolos. Alasannya tentu saja malas. Baru setelah azan magrib berkumandang, ia pun bergegas ke masjid. Itu pun secara diam-diam.

@@@

Umi Aisyah hanya geleng kepala begitu melihat dua muridnya kini berdiri di hadapannya sambil menatap lantai berubin putih.

“Masalah lagi, Farah?”

Yang ditanya hanya diam. Ia malah melirik Yesa yang berdiri di sampingnya.

“Yesa?”

“Afwan, Mi. ” Farah membela dirinya.

“Benar, Mi, kami ngaku salah.” Yesa menimpali.

“Ya, tapi nanti jadi keterusan. Kalian ini udah tahu kalau mencontek itu dilarang masih saja dilakukan. Ya sudah, nilai kalian terpaksa Umi kurangi.”

@@@

“Tapi, Henny takut, Mi.”

Umi Aisyah tersenyum. Wanita muda itu menghampiri Henny yang sedari tadi berdiri di depan mejanya.

“Nggak usah takut. Toh Farah kan teman Henny, sama-sama makan di catering, sama-sama anak Umi. Nggak ada salahnya kan Henny yang minta maaf duluan.”

“Umi nggak tau aja siapa Farah,” ujar Henny dengan mata yang masih memerah.

“Memangnya Farah kenapa?”

“Farah itu sering nyuruh anak-anak, Mi. Sering menindas anak-anak. Semua yang dia mau harus dituruti.Belum lagi ngomongnya yang pedas. Pokoknya Farah itu sesuai namanya benar-benar parah, Mi.” Henny tak kuasa membongkar keburukan Farah yang sebenarnya Umi Aisyah sudah tahu.

“Ya sudah, Henny kembali ke kamar dulu. Nanti biar Umi yang ngomong sama Farah,” ujar Umi Aisyah sambil membetulkan letak jilbabnya.

@@@

“Bersihin Shofiyah lagi? Ah, males.” Farah melempar jilbabnya ke atas kasur. Ia baru saja disidang oleh Umi Aisyah. Kali ini untuk kasus membawa parfum dan baju ketat.

“Payah tuh Umi. Katro. Nggak gaul,” umpat Farah.

Sementara anak-anak yang lain diam. Seolah tak mendengar umpatan Farah.

Mereka semua tahu kalau Farah adalah biang masalah di angkatan mereka. Gara-gara Farah, beberapa anak ikut kena imbas perbuatannya. Yesa jadi ikutan nyontek waktu ulangan matematika. Henny yang pendiam jadi agak depresi karena terus-terusan dihina Farah. Belum lagi kasus lainnya.

Berbagai jenis hukuman sudah diterima Farah. Tapi tuh anak kok belum kapok juga, ya? Malah tingkahnya semakin menjadi-jadi. Seisi sekolah tahu kalau Farah itu bermasalah.

Tapi untungnya, otak Farah lumayan encer. Terutama untuk urusan bahasa. Makanya Farah dapat amanah jadi koordinator bidang bahasa di OSIS. Tapi Farah tetaplah Farah. Masalah seolah terus ia cari.

@@@

Kali ini bukan saja Umi Aisyah yang akan menyidangnya. Ada juga Umi Astri yang selama ini terkesan lebih kalem dari pada Umi Aisyah.

“Farah, Umi bosan nyidang Farah. Farah maunya apa sih?” Umi Aisyah tampak sudah hilang kesabaran.

“Ngapain Farah ngobrol sama Dodi?” Kali ini Umi Astri yang bertanya.

Farah tak sanggup memandang kedua umi yang duduk di depannya.

Tadi siang ia kepergok dua umi itu sedang ngobrol dengan Dodi di belakang Shofiyah. Padahal maksudnya cuma mau ngasih titipan Ika yang punya kakak di asrama putra.

‘Nggak ngapa-ngapain, Mi. Farah cuma disuruh Ika buat ngasih sesuatu sama kakaknya.”

“Kenapa Ika nggak ngasihin sendiri? Atau bisa titip sama Umi,” ujar Umi Astri lembut.

Farah diam. Sebenarnya Ika memang ingin nitip dengan Umi Aisyah yang terkenal lumayan dekat dengan anak putra. Tapi Farah menawarkan bantuannya. Makanya dengan nekat ia memanggil Dodi yang kebetulan lewat di belakang Shofiyah.

Eh, dasar apes, maksudnya mau berbuat kebajikan eh malah berbuah petaka.

Ya itu tadi, Farah kembali harus menerima hukuman. Kali ini hukuman jasus berlaku yaitu memakai jilbab hitam kemana pun dan dimana pun selama 3 hari.

@@@

“Farah butuh perhatian, Mi,” ujar Farah sambil terisak.

Ini sudah kesekian kalinya ia dipanggil Umi Aisyah. Kali ini untuk kasus mejeng di depan mushola.

“Di rumah, tak ada yang merhatiin Farah. Papa sibuk kerja,” lanjut Farah dalam sedu sedannya.

“Mamamu?” tanya Umi Aisyah.

“Papa dan Mama bercerai, Mi. Sekarang Farah punya mama tiri.” Farah mengelap aliran yang tak terbendung di pipinya.

“Tapi bukan begini caranya untuk menarik perhatian, Rah.” Suara Umi Aisyah melemah. Hati wanita itu tersentuh mendengar kisah anak didiknya yang selama ini terkenal dengan kebandelannya. Anak itu selama ini menyimpan nestapa yang akhirnya berbuah kenakalan.

Farah masih menunduk. Sementara Umi Aisyah memberikan tausiyah pada Farah. Tak lupa Umi Aisyah menyelipkan tentang hubungan laki-laki dan perempuan menurut ajaran Islam.

@@@

Hampir dua tahun sudah Farah melewati kehidupan di pondok ini. Pahit dan manis perlahan ia lewati. Walau terkadang pahit itu begitu membuat keluh lidahnya. Semuanya pun terganti dengan manisnya rahmat dari Sang Maha Pengasih.

Hari itu, ketika semua orang asyik menyantap makan siang dari catering. Mereka menikmati setiap suapan yang masuk ke mulut mereka. Beban yang menghimpit pun ditanggalkan untuk sementara.

Pun Farah, ia begitu menikmatinya, walau lauk hari ini hanya ikan goreng dan sambel tumis. Tapi terasa nikmat karena tak ada masalah dalam benaknya.

“Far, dipanggil Umi Aisyah.” Dara, teman sekamar Farah tiba-tiba muncul.

“Ada apa?” tanya Farah.

Dara hanya mengangkat bahu.

Bergegas Farah menghabiskan sisa makannya untuk menemui umi yang menjabat Wakasis di sekolahnya.

Farah merasa tidak ada kasus yang dia lakukan. Selama ini, Umi Aisyah selalu memanggilnya untuk masalah bahasa atau masalah kenakalan yang diperbuatnya.

Farah sadar kalau selama ini ia sudah salah langkah. Semua itu berkat tempaan yang Umi Aisyah berikan padanya. Walaupun Farah sering buat ulah, Dengan sabar, Umi Aisyah seolah tak pernah berhenti untuk menegurnya. Itu bukti bahwa Umi Aisyah peduli padanya.

Karenanya, Farah berusaha membuktikan kalau ia bisa berubah. Seperti yang pernah Umi Aisyah bilang kalau dirinya sendirilah yang bisa mengubah semuanya. Umi Aisyah terus memberikan motivasi serta kepercayaan padanya. Dan Farah bertekad untuk menjaga kepercayaan yang diberikan Umi Aisyah padanya.

“Assalamualaikum,” sapa Farah begitu sampai di kamar Umi Aisyah.

“Wa’alaikumsalam,” lirih Umi Aisyah menjawab. Matanya melirik sekilas ke arah Farah yang perlahan masuk menghampirinya.

“Ada apa, Mi? tanya Farah sopan.

Umi Aisyah segera melipat kertas dalam genggamannya lalu memberikan pada Farah.

“Surat apa ini, Farah?

Farah menerimanya dengan bingung. Perlahan dibacanya isi surat itu.

Bagai ribuan godam dan palu menimpa kepalanya. Farah langsung menatap Umi Aisyah yang tampak jelas binar kekecewaan di matanya.

“Ini bukan dari Farah, Mi. Demi Allah!” Farah berusaha meyakinkan Umi Aisyah yang masih menatap tajam kearahnya.

“Ini fitnah, Mi. Farah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Dodi.” Farah memberikan penjelasan.

Umi Aisyah tetap diam. Tampak sekali kekecewaan bergelayut di matanya. Anak itu telah melanggar kepercayaannya lagi. Sulit baginya untuk kembali percaya pada Farah. Berbagai cara sudah dilakukannya untuk menyadarkan Farah. Dari cara lembut maupun kekerasan.

“Susah buat Umi percaya lagi, Farah. Sudah begitu banyak kesempatan yang Umi berikan buatmu untuk berubah. Tapi lagi-lagi kau langgar. Surat itu jelas-jelas Umi temukan di bawah bantalmu. Dan jelas-jelas itu adalah tulisanmu. Terpaksa Umi harus memanggil orang tuamu. Kau diskorsing.”

Akhirnya ultimatum itu keluar juga. Ya, begitu banyak kesempatan yang telah disia-siakan Farah. Dan ketika kesempatan itu kembali datang, Farah tak dapat lagi melangkah. Hanya karena surat cinta yang tak pernah dibuatnya.

@@@

Shofiyah, 12 Juni 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline