Lihat ke Halaman Asli

aku dia dan mereka

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kembali aku berada disini, lorong-lorong berbau khas obat dan serba putih, Sesekali tersenyum saat berpapasan dengan beberapa manusia berpakaian putih-putih tanpa memelankan langkah kakiku. Aku sudah dekat dengan kamar yang kutuju, disana, tempat belahan jiwaku, alasan terbesarku untuk hidup, terbaring berselimutkan rasa sakit dan lelah. Kubuka perlahan pintu yang makin hari terasa makin menakutkan bagiku –bahkan untuk sekedar menempatkan tanganku di handlenya- dan mengintip sesosok manusia tampan yang tengah berkutat dengan mangkuk buburnya, wajahnya yang tampan terlihat sedikit merengut tak suka, sangat kekanakan, namun sedetik kemudian wajah itu tersenyum lebar mengetahui akulah yang datang.

“Lanjutkan saja, aku tak ingin mengganggu, kau terlihat sangat meniikmatinya.” Wajahnya kembali tertekuk lucu usai kutuntaskan kalimatku.

“Aku muak dengan makanan lembek seperti ini setiap hari, aku tak ingin memakannya!”

“Ingin kusuapi?”

“Tentu saja.” Katanya dengan nada sama juteknya. Tapi dia tak menolak saat kusodorkan sesendok bubur. Keadaan menjadi hening untuk sementara waktu, denting sendok yang kugunakanlah satu-satunya pengisi keheningan yang terasa menyenangkan sekaligus menyiksa ini. Menyenangkan karena aku menjalani senyap ini bersamanya, sekaligus menyiksa saat menyadari betapa pucatnya sosok ini karena penyakit yang dibawanya. Aku kembali mengingat bagaimana awal aku jatuh pada mata coklat cemerlang di hadapanku ini.

5 tahun yang lalu

Aku mendesah lega begitu keluar dari ruang perkuliahan, kuis tadi benar-benar membuatku yang memiliki kapasitas otak pas-pasan ini kelabakan dan berakibat pada volume isi perutku yang tiba-tiba terasa berkurang pertanda aku lapar, sangat. Aku baru akan meninggalkan ruang perkuliahanku saat sadar kalau map ku tertinggal di dalam, aku kembali berbalik sebelum sepasang tangan menahan lenganku. Kutelusuri si pemilik tangan dan . . . voilla!, di hadapanku berdiri anak SMA bermata coklat cemerlang yang harus kuakui tampan.

“Kak, boleh minta waktu sebentar?” tanyanya dengan suara agak berat khas anak puber, dan jawaban yang kuberikan sungguh diluar dugaan, salahkan kecepatan mulutku daripada otakku.

“ kamu sungguh cute, jadilah pacarku” DAMN!!! Ini bencana.

Kalian pasti menebak bahwa dia akan tertawa dan menganggapku gila kan?, kalian salah besar!, dia hanya tersenyum manis lalu mengiyakan ajakan–tak sengaja-ku tadi. Gila? Tentu saja, aku mahasiswa semester 5 yang berpacaran dengan anak SMA!, baca ulang 2 kata terakhir, karena memang itulah yang aku tulis. Dia Henry, anak dosen mata kuliah filsafat di kampusku, dia mencari ayahnya kala itu. Aku sangat tergila-gila dengan mata coklat cemerlangnya saat menatapku lama, ia benar-benar adorable. Awalnya kami hanya jalan-jalan canggung -kami jadian karena ketidak sengajaan mulutku, remember?-. Jangan katakan aku tak meminta maaf dan berkali-kali berkata ‘lupakan kata-kataku tadi’, aku telah mengatakannya berulang kali dan dia tetap saja ngotot berpacaran denganku. Aku?, tentu saja aku tak menolak terlalu keras karena dia benar-benar cute di mataku.

Ada satu hal yang tidak kuketahui tentang dia hingga memasuki tahun ke tiga kami. Kami tengah merayakan hari kelulusannya kala itu, ketika dia tiba-tiba terbatuk hebat hingga mengeluarkan darah dari mulutnya, tapi ia bersikeras tak ingin kubantu, terburu aku menelfon ambulan. Dan tiga hari kemudian dia sudah kembali menemuiku, aku bukannya tak tahu dia sering ke rumah sakit, hnaya saja dia memang tak ingin aku tahu tentang rahasianya yang satu itu. Henry memang aneh, maksudku bukan dia psycho atau apa, hanya saja ia tak pernah membiarkanku makan dengan sendok yang sama, minum dengan sedotan yang sama, padahal menurutku itu umum dilakukan orang yang sedang berpacaran, dia juga tak pernah membiarkanku mencium bibirnya. Dia tidak jijik karena dia juga sering minum dari bekasku minum, tapi dia tak pernah membiarkanku minum dari tempat bekasnya minum, ia membenci hujan, dan kadangkala kulitnya memucat tiba-tiba disusul batuk lalu pingsan, ada apa sebenarnya?. Aku pernah bertanya padanya tentang itu, kira-kira seperti ini percakapan kami kala itu.

“kau pingsan lagi kemarin sore usai berlatih taekwondo, kalau menurutmu itu melelahkan jangan lakukan lagi, keluar saja dari taekwondo, ikut organisasi juga bagus menurutku.” Dia tertawa dan menatapku dengan mata coklatnya yang mengagumkan.

“aku bukan kecapekan, aku tak akan mau menjadikanmu pacarku kalau hanya karena hal seperti ini saja aku tumbang, aku ingin menjagamu, kau tenang saja, aku hanya sedikit kurang istirahat kemarin, kau tahu sendiri banyaknya tugasku kan?.” Aku hanya tersenyum dan menyandar pada bahunya kala itu tanpa bertanya lebih lanjut.

“bukannya aku yang menjadikanmu pacarku?, kalau begitu jangan sakit lagi, kau membuatku khawatir.”

“tak penting siapa yang memulai, tapi ingatlah kata ini, senyummu yang membuatku semangat, jadi tersenyumlah selalu, aku berjanji akan selalu sehat”

“aku akan tersenyum selama yang kau mau, tapi jangan sakit lagi.” Terdengar seperti merajuk kan?, aku sendiri kadang merasa sangsi, siapa yang lebih tua 5 tahun disini. Aku gadis dewasa yang sebentar lagi lulus kuliah strata 1 bermanja-manja pada anak SMA, menggelikan sekali. Setelah itu aku tak pernah bertanya lagi padanya, hanya saja aku lebih sering mengingatkannya tentang jadwalnya. Ingin rasanya aku bertanya pada orangtua Henry tentang keadaannya, tapi orangtua Henry tak pernah merestui hubungan kami.

Orangtua Henry adalah pasangan dosen yang selalu khawatir tentang pendapat orang, aku pernah bertemu mereka-sekali- dan yang mereka tanyakan adalah dimana aku bersekolah, begitu mereka tahu perbedaan umur kami-aku dan Henry- 5 tahun, mereka menentang hubungan kami, saat itu kami genap satu tahun.

“jadi, dimana kalian pertama bertemu?, apa kau adik kelas Henry?, dia tak pernah mau bercerita tentang kekasihnya sebelum ini.” Mendengar pertanyaan ramah dari ibu Henry mendadak membuatku gugup, kulirik Henry dan menatap langsung ke arah mata coklatnya ynag meneduhkan.

“kami bertemu di kampus, saya mahasiswi psikologi semester akhir, dua bulan lagi masuk skripsi.” Aku merasakan genggaman tangan Henry mengerat di bawah meja, sama denganku dia juga gugup menanti tanggapan orangtuanya.

“aku mencintainya Mama, Papa, aku tahu aku masih terlalu kecil untuk membicarakan hal serius seperti ini, tapi aku ingin kalian tahu bahwa dialah pengisi hatiku saat ini.” Wajah orangtua Henry menegang, aku sudah bisa menduga apa yang akan terjadi sebentar lagi. Tak perlu kujelaskan lagi karena terlalu sakit mengingat penolakan dari orangtua pacarmu.

Di sekolah Henry maupun di kampusku kejadiannya tak jauh berbeda, usia kami yang terpaut sangat jauh memang seringkali membawa gelengan ketidaksetujuan dari banyak orang, tapi yang terjadi adalah kami bertahan sekian tahun. Pergaulan Henry dan aku jauh berbeda, jika Henry memiliki pergaulan anak SMA-nongkrong di mall, bermain ke wahana, nonton, atau sekedar berkumpul di rumah salah satu temannya-, aku dan teman-temanku lebih sering berpetualang menaklukkan gunung, maupun memasuki pulau yang menyimpan sejuta keindahan Indonesia. Kami tak pernah mempermasalahkan itu walau karena hal itu intensitas pertemuan kami berkurang. Aku percaya padanya walau aku tahu sepopular apa dia di SMAnya, Henry anak yang ramah dan mudah sekali tersenyum, ia juga aktif di berbagai ekstrakulikuler, mungkin karena salah satu alasan diatas dia jadi populer sekali.

Kembali pada penyakit Henry yang kukira semakin hari semakin parah, dia tak pernah menjelaskan padaku apa penyakitnya, dia hanya selalu berkilah kecapekan saja karena banyaknya aktifitas dan tugasnya, ditambah berkencan denganku di waktu senggangnya, ia jadi makin tak punya waktu istirahat.

“kalau begitu kita tak usah terlalu sering bertemu, atau aku saja yang datang ke sekolahmu usai perkuliahan, kau tahu aku tak pernah merasa sakit hati atas perlakuan teman-temanmu.” Rautnya tidak senang mendengar pernyataanku, ia menggenggam tanganku dan bertutur lembut.

“dan membiarkanmu menerima kata-kata kasar mereka?, itu tidak akan terjadi, aku tidak ingin lagi menghajar orang yang merendahkanmu, aku, kita. mereka tak akan pernah bisa memisahkan kita.” Aku terbelalak, lagi? Itu tandanya dia. . .

“kau bertengkar dengan temanmu? Kau menghajarnya?, jadi lebam minggu lalu bukan karena terjatuh dari motor?.”

“. . . .

“jawab aku Henry.” Ia berdiri tiba-tiba dan berkata pelan.

“aku membeli cappucino sebentar, tunggu disini aku akan segera kembali, akan kubawakan eskrim favoritmu juga.” Sedetik kemudian ia berlalu dari hadapanku, selalu begitu, ia sangat emosional jika menyangkut aku.

Aku tidak tahu berapa lama aku menunggu Henry membeli minuman, tapi yang jelas ini sudah terlalu lama dari seharusnya waktu yang dibutuhkan, jadi aku meraih tas Henry dan berniat menyusulnya, tapi ia sudah terlihat tak jauh dariku dengan wajah-kalau aku tak salah lihat- pucat.

“Henry, kau lama seka. . yah Henry!” aku tak menghambur ke arahnya melihat tubuhnya limbung, diantara kepanikan ini otakku–untungnya-masih bisa berpikir cepat untuk segera menelpon ambulans. Aku benar-benar takut saat ini, tidak ada yang bisa kulakukan selain menggenggam tangannya yang dingin dan terasa lebih kurus, kapan ia menjadi sekurus ini?,Kenapa aku juaga tak sadar kalau Henry sekarang menjadi lebih rentan sakit?. Oh, aku bukannya tak sadar, hanya saja ia memang pintar sekali mengalihkan perhatian seperti tadi. Aku menunggu di depan UGD sepanjang waktu hingga orangtuanya datang. Kemudian beranjak pergi ketika teman-teman Henry datang, aku tak kuat melihat tatapan merendahkan dari mereka, serasa aku yang paling bersalah disini.

Aku tak pernah bisa bertemu Henry selama 2 minggu ini, setiap aku datang ke rumah sakit selalu ada saudara  atau teman SMAnya disana, aku pernah meminta izin untuk masuk, tapi mereka selalu melarangku. Demi Tuhan aku khawatir akan keadaan Henry, saat aku  sempat mengintipnya sebentar dia terlihat sangat. . . ‘kering’.

“kumohon izinkan aku berbicara sedikit padanya, 5 menit, aku tak akan meminta lebih dari 5 menit.” Ucapku putus asa saat melihat Ibu Henry keluar kamar rawatnya.

“kau benar-benar tak tahu malu, kau tahu berapa jarak antara umurmu dan anakku?, lima tahun!, demi Tuhan!, apa yang kau pikirkan sampai kau memintanya jadi pacarmu?.”

“maafkan aku, aku akan menghindarinya kalau anda mau, tapi beri aku 5 menit saja, kumohon.”

“1 menit.”

“aku mohon, hanya 5 menit, aku akan memutuskan hubunganku dengannya, aku akan memberinya pengertian.”

“1 menitmu makin banyak terpotong.” Tanpa menunggu lagi aku masuk kamarnya dan menatap tubuh kurusnya, mati-matian aku menahan air mataku, tapi tak bisa. Kugenggam tangannya, dingin dan tak balas menggenggam tanganku lagi, seperti yang biasa dia lakukan, aku makin tergugu.

“kenapa kau tak pernah jujur?, tinggal berkata kau sakit dan aku akan lebih tahu bagaimana harus memperlakukanmu, aku akan membiarkanmu lebih banyak beristirahat, bukannya memaksamu menemaniku di akhir pekan.”

“kau akan menangis setiap hari jika mengetahui tentang hal ini, hal itulah yang lebih mematikan buatku.” Aku tahu Henry berbicara padaku, tapi aku enggan menatap mata coklat indahnya sekarang.

“ini lebih menyakitkan kau tahu?, sebenarnya kau sakit apa?.” Kini aku bisa merasakan kepalanya yang ia dekatkan padaku, kemudian berbisik.

“aku ingin kita putus, mulai sekarang aku akan menjalani hidupku sendiri, dan kau menjalani hidupmu sendiri, jangan pedulikan apa yang terjadi padaku lagi, kau bisa lebih fokus pada pekerjaanmu.” Aku melotot dan bangkit menatap langsung pada mata coklatnya yang kini sayu.

“kau ingin membunuhku?” aku mendudukkan diri di lantai dan mulai menggumam tanpa sanggup melihat ke arah Henry. “. . aku hampir gila hanya karena tak melihatmu selama dua minggu dan kau malah memintaku pergi?, kau sendiri yang mengatakan padaku bahwa aku, kita. mereka tak akan pernah bisa memisahkan kita.”

“. . . . “

“Jawab aku Henry! Kau ingin membunuhku?” hanya hening yang ada diantara kami, terus begitu selama. . . . , entah aku tak menghitung lagi, aku bahkan tak ingat atas batasan yang diberikan ibu Henry. Aku, kami hanya terdiam hingga sedu sedanku teredam dan berbalik menatap mata coklatnya yang terlihat terluka.

“jangan, demi apapun jangan jauhkan aku darimu, kita bisa melewatinya kan?, aku akan menunggumu hingga kau sembuh, lalu kita akan menikah dan mempunyai anak yang lucu, kau ingin berapa? 3? 4? Aku akan hamil sebanyak yang kau mau, ya kan?” aku makin frustasi melihat kebisuan Henry, aku tetap menunggunya mengatakan sesuatu hingga akhirnya ia berucap, satu kata, tapi mampu memporak porandakan duniaku.

“HIV.”

Dan disinilah aku sekarang, hingga bertahun kemudian menemani Henry tiap hari, seusai jam kerjaku di perusahaan asuransi. Oh aku hampir lupa, hari ini peringatan 5 tahun kami bertemu, aku sedikit melirik Henry yang juga menatapku intens, aku tersenyum kecil, meletakkan mangkuk buburnya, dan merogoh tas kerjaku, mengeluarkan selimut yang kurajut dari potongan baju kami.

“ini waktu kita nobar kan?.” Tanyanya bersemangat, aku mengangguk membenarkan.

“dan yang ini saat kita menawar di pasar kan?, kau ingat kan?, ternyata masih kau simpan, ah aku juga punya hadiah untukmu.”

“apa?” ia mengambil booklet dari bawah bantalnya dan meyerahkannya padaku.

“aku mengeditnya dan menyuruh mama mencetaknya, bagaimana?”

“bagus, akan kusimpan.” Kubuka lembarannya, foto dari masa aku kuliah hingga aku bekerja ada disana, ratusan, hingga buku itu terasa berat

“tentu saja kau harus menyimpannya, siapa tahu suatu saat kau melupakanku, ini sebagai pengingatnya, jangan dibuang walaupun suamimu yang menyuruh, janji?” aku menatapnya gusar.

“aku akan menikah denganmu, punya anak denganmu, tak akan ada yang lain, kau dengar itu?.”

“. . . aku, kita. mereka tak akan pernah bisa memisahkan kita, kau ingat katamu itu kan?” sambungku lagi

“tapi aku tak akan bisa menemanimu selama itu, 5 tahun dari sekarang kau akan terlihat menggandeng sesosok tubuh manusia yang diawetkan jika terus bersamaku.” Aku baru saja akan menyanggah ucapannya, tapi kubatalkan saat kulihat dia mulai terbatuk dan muntah darah-lagi-lagi-. Dan kalian bertanya apa yang kulakukan?, Henry langsung mendorongku dengan sebelah tangannya yang tak terciprat darah, dia benar-benar memastikan aku berada pada jarak aman darinya saat ia kambuh seperti ini, HIV gampang sekali menular katanya. Jadilah aku diluar menunggu suster-suster itu selesai dengan urusan mengganti sprei dan baju Henry. Setelah itu barulah aku ‘aman’ untuk kembali bersentuhan dengan Henry-untuk yang satu ini Henry sendiri yang membuat peraturan-.

Aku kembali esoknya untuk kembali menjenguk Henry, tapi aku menjumpai orangtua Henry di luar kamar Henry, mata mereka sembab, hatiku langsung berdesir oleh perasaan tidak enak. Kupercepat langkahku dan tanpa menyapa mereka terlebih dahulu aku masuk kamar rawat Henry yang kini terisi sosok tubuh kaku tak lagi bernyawa, Henry-ku. Itu Henry, demi apapun aku ingin salah lihat, tapi ini benar-benar nyata, sosok rapuh, kaku, dingin itu memang Henry-ku.

“Henry! Kau bercanda lagi kan?, bangunlah atau aku benar-benar akan menikah dengan bosku yang katamu tampan itu.” Tak ada sahutan, sosok di depanku masih diam.

“atau kau ingin melihatku tersenyum, liaht aku tersenyum kan?, kau pernah berkata bahwa senyumku yang membuatmu semangat, jadi tersenyumlah selalu, maka kau akan selalu sehat, aku akan tersenyum selama yang kau mau, seperti yang selalu aku lakukan dan kau akan membalasnya kan?.” Aku terduduk putus asa saat sosok itu tak bergeming.

“aku, kita. mereka tak akan pernah bisa memisahkan kita kan?, kenapa sekarang malah kau yang pergi?.” Aku masih menangis saat aku sadar mama Henry memelukku, beliau memang sudah menerimaku, dengan sabar beliau membimbingku bangun, aku mendekati mayat Henry dan mengecup kelopak yang menyembunyikan iris coklat menawan miliknya, kemudian beranjak pergi. Meninggalkan separuh nyawaku terbaring tak bernyawa disana, aku akan terus mencari cara agar kita selalu bersama Henry, bukankah kau sendiri yang berkata. aku, kita. mereka tak akan pernah bisa memisahkan kita, aku benar kan?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline