Deni tidak pernah menyangka jika dirinya harus merawat pasien Covid-19, shift kerja yang dilalui tidak seperti biasa, jadwal tidur pun jadi tidak menentu, kebersamaan dengan keluarga semakin terbatas. Ini memang resiko menjadi perawat senior di rumah sakit pemerintah.
Jadwal bekerja yang biasanya 8 jam dengan 2 rekan sejawat kini berubah menjadi 3 jam penuh diruangan dan berganti untuk melakukan perawatan bersama 5 perawat.
Shift di hari biasa memang dilalui dari pukul 08.00 pagi hingga 14.30 siang, namun perubahan waktu kerja telah membuat hari menjadi berubah secara drastis.
Tiga jam berada dalam ruang isolasi yang penuh virus dan bakteri, ditambah kewajiban memakai alat pelindung diri lengkap sesuai standar kerja yang ditetapkan. Ini standar operasional prosedur yang sifatnya top down. Harus dipakai di ruang khusus perawatan covid 19.
Apakah ini berat? selalu terbesit untuk mengatakan "iya, memang berat", namun nurani kadang mengingkari, sebab sumpah profesi mengharuskan perawat bekerja dengan nurani, caring ditumbuhkan dan empati dikuatkan. Selalu ada ujian untuk mundur dari pekerjaan, namun sebagian memang harus menafkahi keluarga dan menabung pundi masa depan.
"Ini memang sudah menjadi pekerjaan kami" begitulah kata yang timbul dari nurani, akan selalu mengikis bathin orang lain untuk peduli bahwa perawat juga manusia yang butuh dukungan dan kasih sayang.
Apa yang kita beri dan lakukan untuk kebaikan orang lain juga akan kembali pada diri kita, itu petikan makna sumpah profesi yang wajib di taati.
Diam dan kerja sunyi perawat bukan berarti mereka tidak bersuara di diskriminasi, ada batas hidup yang harus kita maknai sebagai manusia terdidik bahwa perawat butuh dukungan materi dari jerih payah dan lelahnya bekerja.
Ini timbal balik dan hukum tetap dalam pekerjaan, kita tidak boleh mendzalimi mereka yang setiap saat berhadapan dengan nyawa, apalagi berkaitan dengan insentif mereka yang selalu tertunda.
Apa hendak dikata, Deni memilih diam dalam sunyi pekerjaan. Insentif yang seharusnya diberikan sesuai kontrak setiap bulan harus berubah menjadi rapelan.
Menyuarakan kebenaran sama saja dengan melangkahkan satu kaki ke jurang. Lebih baik diam seribu bahasa ditengah ketidakadilan daripada harus di keluarkan dari pekerjaan. Apakah ini "new normal" masa kini?