Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

TERVERIFIKASI

pegiat literasi

Sulitnya Menebak Wajah Politik Kita, Apakah Mereka Baik-Baik Saja?

Diperbarui: 3 Februari 2023   20:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber fotosuara pemerintah-ID

Makin tua usia demokrasi, ternyata politik kita justru makin prematur. Demokrasi prosedural makin menjadi "barang" langka. 

Kemarin media menampilkan adegan yang tak biasa, jokowi tertawa masam, dalam acara PDIP, Puan bermuka masam meski sedang berbaik hati membagi kaos partai. Atau Surya Paloh juga tak disalami jokowi saat bertemu muka. Ganjar yang kebingungan ketika pertunjukkan rousting petinggi partainya. Belum lagi Megawati yang tak pernah selesai "move on-nya" dari SBY sejak 2004.

Politik memang punya wajah sendiri yang tipikal dan mewakili semacam stereotip wajah para politikus. Bersaing, dalam arti yang sesungguhnya. Kita beda, maka kita ada!

Tapi ada kalanya juga terjadi sebaliknya, bersaing hingga berdarah-darah saat pemilu, tapi karena syahwat kuasa yang lebih didepan dibanding nurani dan rakyat, maka sudah menjadi kelaziman jika yang bertarung kemudian mengkonsolidasikan diri, dalam apa yang disebut dengan sinergi politik para elite. 

sumber foto-kabar damai

Membangun koalisi, melakukan dagang sapi, politik kekerabatan. Bahkan para elite tak sadar ketika ribuan orang yang ikut berdarah-darah karena politik kebingungan dengan pilihan sikap politik para elite mereka yang didukungnya.

Padahal, di daerah-daerah yang kental persaingan politiknya,  ada keluarga yang ribut hingga cerai karena suami-istri beda pilihan parpol. Ada kuburan yang harus dibongkar karena pemilik tanah tak separtai-sehaluan. Bahkan ada yang menarik sumbangannya untuk rumah ibadah, karena jamaah di kampungnya disinyalir jadi sebab kekalahan si politikus instan yang mencari jabatan. Dan sederet cerita lain yang aneh dan absurd.

Maka kita kemudian dikenalkan dengan gastrodiplomacy, ketika nasi goreng menjadi simbol dan penanda politik, karena untuk meng-eufimisme politik yang keras harus dilembutkan, misalnya dengan simbol sepiring"nasi goreng", "sejam di kereta api" atau "berkuda di Cikeas yang asri dan sejuk".

Menanti Bayi-Bayi Politik 

sumber ilustrasi-the asian parent

Meski pilpres baru digelar di akhir tahun 2024, tapi kompor politik yang tadinya memakai sumbu, kini beralih ke kompor gas. Politik makin panas. 

Apalagi kabar terbaru "bayi capres" yang lahir dari ibu "nasdem" ternyata baik-baik saja bahkan "para orang tua" sudah mengakui statusnya. Padahal pengamat politik menyebutnya melalui proses kelahiran"aborsi politik", karena dilahirkan begitu tiba-tiba tak menunggu aba-aba. Bahkan sempat membuat gaduh "ibu-ibu " lainnya yang belum jelas bayi mana yang mau dilahirkannya.

Dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi membuat Anies Rasyid Baswedan punya tiket mendaftar sebagai calon presiden (capres) 2024. Sebab Anies sudah mendapatkan dukungan dari Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS.
Peroleh suara dukungan Anies, totalnya sudah melebihi syarat pencapresan dengan jumlah kursi 20 persen di DPR. 

sumber foto-republika

Nasdem menyumbang 59 kursi (10,26 persen), Demokrat 54 kursi (9,39 persen), dan PKS 50 kursi (8,70 persen) berarti kini Anies mengamankan 28,35 persen.

Kini giliran para ibu-ibu lainya yang ketar-ketir memikirkan apakah "bayinya" juga akan lahir selamat?. palagi jika sebenarnya "bayinya prematur" tapi tak bisa lagi dilahirkan secara bedah sesar (caesar) alias cesarean section, caesarean delivery, atau C-section atau seksio sesarea.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline