Kasus penculikan disertai pembunuhan yang dilakukan 2 remaja karena terobsesi dengan tayangan transaksi organ tubuh di internet menjadi kasus kejahatan yang mengerikan.
Melihat begitu banyak kasus kejahatan berat yang melibatkan anak-anak membuat kita miris dan prihatin. Anak Anak merupakan masa depan bangsa dan negara, anak memiliki masa harapan hidup panjang sebagai penerus suatu bangsa dan negara.
Sehingga perlindungan terhadap hak anak mestinya harus dikedepankan. Namun bagaimana kita menyikapi anak-anak yang melakukan kejahatan serius?.
Tidak ada penegasan dalam hukum nasional kita tentang apa saja jenis-jenis tindak pidana anak itu. Semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak, digolongkan sebagai tindak pidana anak. Termasuk pemahaman tentang juvenile delequency (kenakalan remaja). Namun, karena terminologi "remaja" tidak digunakan dalam hukum positif kita, maka konsep juvenile delequency dialihbahasakan menjadi kenakalan anak.
Ketika publik yang awam berhadapan dengan kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak, persepsi dan asumsi dalam melihat persoalan pastilah dari kacamata hukum positif yang standar. Artinya jika anak-anak melakukan tindak pidana kejahatan apapun bentuknya maka harus mendapat ganjaran yang sepadan dengan perbuatan atau pelanggaran hukumnya.
Namun proses yang sering ditempuh secara hukum adalah Diversi yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kejahatan anak tidak diproses layaknya pelaku kejahatan yang dilakukan orang dewasa. Penetapannya dilakukan dengan aturan undang-undang dengan banyak catatan pertimbangannya.
Perbedaan inilah yang menyebabkan beda cara pandang antara kacamata hukum dengan kacamata publik yang awam.
Setelah satu dasawarsa berlaku, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) masih memicu polemik. Banyak yang menilainya tak adil.
Banyak pihak berharap, revisi beleid-kebijakan ini akan mendatangkan keadilan bagi korban. Sekaligus, aturan itu diharap punya efek jera bagi kenakalan remaja atau anak pelaku tindak pidana atau dalam UU SPPA disebut anak berhadapan hukum (ABH).
Apakah beleid ini juga yang memicu mengapa eskalasi kejahatan yang dilakukan oleh anak masih tinggi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis.
Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ini konsisten berada di atas 100 orang per tahun selama 2016-2019. Angkanya kemudian turun menjadi 69 anak pada 2020, dengan rincian 58 anak sebagai pelaku kekerasan fisik dan 11 anak pelaku kekerasan psikis.
Anak Di Mata Hukum
Di mata hukum positif di Indonesia (ius constitutum atau ius operatum), anak-anak lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig atau person under age).
Atau orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjarig heid atau inferiority) dan kerap juga disebut juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).
Sistem Peradilan Pidana anak Menurut undang-undang Nomor 11 tahun 2012, sebagaimana Pasal 1 adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.