Jabatan kades dulu ditolak-tolak orang, sekarang membayarpun akan dilakukan demi jabatan itu, ada apa memangnya?
Hal paling menarik dari kemunculan polemik jabatan Kepala Desa yang akan di tambah menjadi 9 tahun adalah pendapat Presiden Jokowi.
Mengapa?. Seolah tanpa banyak pertimbangan Presiden mengiyakan rencana kenaikan masa kerja Kades tersebut. Tentu saja banyak yang berpraduga dan bertanya-tanya, memangnya apa implikasi seandainya permohonan itu dikabulkan?.
Bukankah tidak sederhana persoalannya, karena itu artinya DPR harus merevisi Pasal 39 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 yang mengatur masa jabatan kepala desa dari semula enam tahun menjadi sembilan tahun. Butuh waktu dan dana besar, dan menjadi pemancing kenaikan masa jabatan untuk pejabat-pejabat lain di atasnya.
Atas dasar ketidaksederhanaan masalah itulah maka di balik semua itu banyak kerumitan lain yang mungkin tidak sepenuhnya bisa kita pahami sebagai awam.
Lahirnya KKN Desa
Saya teringat di tahun 1990-an, bahkan seseorang yang ditunjuk sebagai kepala desa harus "dipaksa" warga. Mengapa?. Bukannya masuk cuan, justru tekor. Sebentar-sebentar kondangan-melayat-rapat harus rela merogoh kantong sendiri lebih dalam. Tapi sekarang, bahkan kantong bisa tak muat di isi dengan cuan dari jabatan kades!.
Jabatan kepala desa diperebutkan dengan kampanye, dengan masa pendukung, dan dana operasional politik kelas desa, yang berasal dari masing-masing calon dan para massa pendukung.
Persis duplikasi pemilu. Kades sudah menjadi jabatan politik yang cukup strategis, sampai-sampai bisa membantu menambah masa periode jabatan presiden.
Berdasarkan Pasal 39 UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Jika tuntutan dipenuhi dengan tambahan 3 tahun, maka masa jabatan kepala desa akan menjadi 9 tahun lamanya tanpa periodesasi.
Mereka mendorong revisi Pasal 39 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 yang mengatur masa jabatan kepala desa dari semula enam tahun menjadi sembilan tahun.