Ada yang bilang kompasiana itu mirip toko serba ada, pujasera--pusat jajan serba ada, atau yang populer menyebutnya Palugada-Apa Lu Mau Gue Ada. Tergantung konteksnya. Maunya apa. Semuanya tersedia karena begitu beragam latarbelakang kompasianernya.
Dari latar yang berbeda-beda itulah muncul gagasan yang berbeda, yang memperkaya khasanah imajinasi dan bacaan kita.
Menulis menjadi cara kita mengeluarkan uneg-uneg curhatan kata. Tak ada batasan apa yang mau dituangkan, bahkan ketika "tak ada otak", tak ada ide, kompasiana masih menyisakan ruangnya.
Saat awal menemukan ruang menulis ini, banyak kejutan tak terduga, karena begitu mudahnya akses masuk, dan begitu rapi jali sistem yang cepat mengakomodir karya tulis kita.
Selama tak over plagiarism, tak mengusung sara, tulisan akan segera muncul di laman akun masing-masing kita.
Terasa makin istimewa ketika kompasianer saling kunjung, berkat ruang "Beri Nilai" sebagai bentuk reaksi-apresiasi kita untuk para sahabat kompasianer.
Sebelum menemukan ruang ini, banyak ruang lain, tapi begitu rumit jali sistemnya, bahkan butuh berhari-hari hingga akhirnya tulisan kita hadir terbaca. Padahal kita cuma butuh ruang menulis, tak mau diganggu banyak teknis tak perlu.
Menulis apa yang kita pikirkan, bukan memikirkan apa yang hendak kita tulis. Begitu sederhananya sebuah gagasan ketika hendak dituliskan.
Ruang Mendengar dan Melihat Realitas
Artikel pertama saya di kompasiana di tahun 2011, bercerita tentang sebuah kisah para guru di Liyan Sulawesi, Tentang dedikasi para guru honor yang berjibaku mengajar murid-muridnya dengan menyusuri gunung berkilo-kilo meter jaraknya.