ilustrasi-bjorka dan nikita-pikiranrakyat.com
Ketika Bjorka muncul mengejutkan kita dengan "kritik tajamnya" kepada pemerintah, banyak orang menduga, tindakannya dengan segera akan dicaci maki. Sosok Bjorka adalah seorang hacker!.
Hacker selalu dikonotasikan buruk karena sifat agresifitasnya ketika menyerang. Entah dengan menebar virus yang membuat jaringan mati, atau membuat laman sebuah institusi hang, seperti pernah dialami kantor lingkungan tempat saya bekerja dulu ketika mengkonfrontir sebuah pemberitaan yang menindas petani sawit.
bjorka-tribunews.com
Menariknya, publik justru terbelah dua, pro dan kontra. Tentu saja kelompok kontra adalah mereka yang masih berpikir pragmatis. Meminjam istilah George R. Knight (1982). Pragmatisme biasanya ; memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia, apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi, dan manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat.
Para penganut pragmatism, Bjorka apapun ceritanya adalah hacker dan kelakuannya dianggap sebuah kesalahan. Sebagian orang berpikir jika hendak mengkritik semestinya sampaikan saja secara langsung.
Tapi--ketika sebuah pemerintahan atau orang didalamnya bersikap "bebal" atas suara dan desakan rakyat, kita rasanya jadi ragu untuk memakai cara-cara prosedural.
Ingat, meskipun kita menggunakan patron demokrasi prosedural, sebagai patron tindakan berpolitik, tapi nyaris sebagian besar politisi kita adalah para pembangkang demokrasi. Sebut!, saja siapa diantara mereka yang tidak masuk dalam kategori ini. Kita masih bisa menggunakan semua jari yang kita punya dan itu sudah cukup.
Maka dalam konteks pemerintahan yang merusak demokrasi politik. Ketika asas kedaulatan rakyat yang diinjak-injak. Kebaikan sosiologis sebuah undang-undang yang tidak dipenuhi. Pemerintah tidak mendengar apalagi mengabulkan, meskpun rakyat intens menolak. Aspirasi yang tidak diindahkan dan tidak membuka kompromi dengan rakyat.
Mengganggu demokrasi hukum, ketika asas kedaulatan hukum dilecehkan. Merusak demokrasi ekonomi, ketika kekuasaan ekonomi kerakyatan atau pemihakan kepada kelompok. Sistem kapitalisme dibuat semakin mengakar, dan Merendahkan demokrasi budaya.
Sulit bisa berlakunya azas keadilan dan "kebebasan" untuk bersuara lebih vokal. Maka para kelompok pro, yang diwakili suaranya kurang lebih seperti bentuk kritik dan protes Bjorka menjadi punya teman sepenanggungan. Maka dengan segera orang bersikap permisif menerima kritik Bjorka sebagai sebuah kebenaran yang mestinya dilihat, dan direspon pemerintah dengan positif juga.
Positif, dalam arti, meskipun yang diungkap Bjorka adalah kelemahan dan "kejahatan" pencurian informasi, namun memiliki dualisme tujuan. Sebagai perbaikan dan kritik keras mengungkap kelemahan pemerintah sekaligus. Bayangkan saja, 150 juta data KPU yang berisi data personal milik publik yang "rahasia" mestinya harus ditutup rapat, tapi kebobolan. Kritik itu sebagai eskalasi ketidaksukaan warganet kepada Kominfo yang bulan lalu sempat memblokir sejumlah situs dan aplikasi yang belum mendaftar di penyelenggara sistem elektronik (PSE).
Ini bukan lagi sekedar pencurian biasa, ini bisa saja menjadi sangat politis. Tentu kita ingat debat soal Pilpres 2024. Meskipun Pemilu, secara resmi akan dilaksanakan pada tahun 2024, tepatnya pada 14 Februari 2024, namun yang menarik adalah munculnya wacana pelaksanaan pemilu berbasis teknologi digital. Pasalnya usulan tersebut mencuat dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu Untuk Digitalisasi Indonesia, pada Selasa, 22 Maret 2022 di Bali.