Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

TERVERIFIKASI

pegiat literasi

Sambo Makan Nangka, Korps Kena Getahnya

Diperbarui: 25 Agustus 2022   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar-tangkapan layar-idn times

Ibarat berusaha ikut makan nangka, tapi takut kena getahnya. Kurang lebih itulah dilema yang dialami institusi Polri saat ini. Dilema polri mengusut tuntas kematian Brigadir J, tapi korps tak boleh tercoreng. Hampir tak ada cara mudah, karena coreng-moreng itu sudah terlanjur mulai muncul, sejak 11 Juli 2022, persisnya 3 hari sejak kasus disembunyikan FS dari tanggal 8 Juli 2022.

Kejadian-kejadian selanjutnya makin mengokohkan adanya "permainan".

Pencabutan kuasa hukum pengacara Bharada Eliezer, Deolipa Yumara, sebenarnya bukan perkara sepele seperti mutasi jabatan. Ini pertaruhan kredibilitas nama Polri. Ketika pencabutan dilakukan atas sebuah alasan yang tidak masuk akal, terburu-buru atau dilakukan secara sepihak, langsung mengindikasikan adanya masalah. 

Atau upaya menutupi masalah dengan merancang sebuah "skenario baru" dalam bentuk versi yang dapat disinkronkan dengan rencana besar "entah apa" yang sedang "dikondisikan" terkait kasus kematian Brigadir Joshua dan keterlibatan Irjen Ferdy sambo yang membuat institusi Polri terkena getahnya.

Apakah ini sekedar bagian dari pergumulan psikologi Bharada E?. Bisa jadi iya, sesederhana itu alasannya. Tapi sesungguhnya kejadian ini sangat kompleks dari sisi hukum dan upaya penyelesaian kasus besar ini.

Ini artinya ranah penyelesaian kasus juga berkaitan dengan upaya menjaga citra korps kepolisian dari pencemaran nama baiknya. Apalagi setahun belakangan Kapolri sedang mendorong sebuah reformasi besar-besaran melalui "Polri Presisi"-jargonya berakar pada; prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat. 

ilustrasi gambar-kolase brigadir E, Delipa dan Ronny Talapessy-tribun solo

Memainkan Jiwa Korsa

Adalah kultur yang lazim jika keluarga besar kepolisian terkena sebuah kasus yang dapat mencoreng nama besarnya, mau tidak mau institusi akan berusaha menjaga nama besarnya korpsnya, yang biasanya dipertontonkan sebagai Code of Silence atau kode senyap, meskipun ini adalah sebuah penyimpangan. Dalam bahasa sederhana bisa saja dipahami, berbohong untuk kebaikan.

Kode senyap,  merupakan subkultur menyimpang yang cenderung dilakukan oleh sesama anggota Polisi untuk menutup-nutupi suatu kesalahan yang dilakukan.

Dalam kasus pembunuhan berencana atas korban Brigadir J, para tersangka yang berjumlah banyak, bisa jadi pada awalnya akan bersikukuh dengan peran masing-masing sesuai skenario. 

Ketika pasal-pasal yang dikenakan kepada masing-masing tersangka sangat berat, secara perlahan jiwa korsa mulai goyah, karena masing-masing orang akan bertanggungjawab secara pidana, sesuai tindak kejahatan yang dilakukannya.

Pergeseran dari Pasal 338 ke 440, bisa saja akan merubah situasinya menjadi selamatkan diri masing-masing (SDM). Maka buyarlah rasa memiliki kesatuan, karena tak ada lagi pelindung dari jeratan hukum yang menimpanya. Termasuk perlindungan dari kepala institusi Polri. Artinya siapa bersalah harus bertanggungjawab.

Indikasi inilah salah satu alasan mengapa Bharada Eliezer akhirnya "bernyanyi" karena ia tak mau menanggung sendiri akibat dari kasus ini. Sekalipun dengan adanya unsur paksaan dalam melakukan eksekusi pembunuhan, dapat meringankannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline