Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

TERVERIFIKASI

pegiat literasi

Kisah Mak Neh, Zakat Fitrah dan Sekolah Sosial Anak

Diperbarui: 27 April 2022   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dmz

tribun

Tinggal di perumahan yang berbatas dengan kampung asli penduduk tempatan, tak hanya membuat kita harus beradaptasi, tapi juga membangun persaudaraan baru. 

Untuk keperluan pindahan rumah dan membereskan banyak keperluan kami menggunakan jasa seorang tetangga. Ia biasa di panggil Mak Neh. Pada akhirnya, kami menjadi saudara baru, karena ia juga membantu menjaga anak-anak ketika kami sibuk bekerja di kantor.

Di saat-saat spesial khanduri, atau sekedar arisan, tanpa diundang beliau hadir ke rumah, membantu sebisanya. Jadi setiap kali hadir Ramadhan, kami saling bertukar hantaran makanan. Apalagi Mak Neh jagoan memasak "kuah pliek u".

Ada makanan tradisional kegemaran kami di Aceh, kami menyebutnya, "Kuah Pliek U". Masakan sejenis lodeh yang kental dengan tambahan rempah, beberapa jenis sayuran, seperti melinjo, buah melinjo, daun ubi, nangka muda dan lainnya. Bahkan versi asli dari makanan tradisional ini menggunakan campuran rempah dan sayur hingga 40 macam jenisnya.

dream.co.id

Melibatkan Anak-anak

Setiap kali di saat menjelang berbuka, ketika mengantar makanan ke rumah Mak Neh, saya selalu mengajak anak-anak turut serta. Bahkan mereka yang harus menjinjing makanan antaran itu dan menyerahkannya. Meski awalnya malu-malu, tapi pada akhirnya mereka menjadi terbiasa.

Kami mencoba membangun kepedulian, rasa persaudaraan melalui ritual antaran makanan itu. Meski sederhana dan terlihat biasa saja, bisa menjadi cara pembelajaran sosial dan membangun persaudaraan.

Saya teringat dulu juga sering ikut dengan orang tua dalam acara silaturahmi antar tetangga, atau acara khusus di kampus. Meskipun bukan acara untuk anak-anak, tapi orang tua membiasakan saya ikut serta. 

Di sana saya diperkenalkan dengan para tamu lainnya, berkenalan dengan anak-anak lain yang juga dibawa orang tuanya.

Ternyata kebiasaan itu, membuat saya juga jadi mudah bersosialisasi, tidak penakut dengan situasi baru dan tidak merasa canggung, apalagi jika sudah bertemu dengan orang yang sama beberapa kali.

Dan jika kita berkunjung ketika lebaran, pasti ada "angpau" alias amplop yang biasanya diselipkan ketika bersalaman. Jumlahnya bahkan cukup fantastis untuk ukuran anak-anak. Tapi kata orang tua itu hanyalah "efek" dari silaturahmi yang kita bangun dengan saudara dan tetangga.

Sampai dengan sekarang, para tetangga yang "super senior" masih menjalin persaudaraan yang baik, meskipun kami telah tinggal di rumah sendiri, tidak lagi di komplek perumahan Universitas. Beberapa bahkan empat diantaran telah menjadi Rektor, dan tetap menjadi tetangga yang akrab

Di lain kesempatan, saya juga ingat setiap kali mengunjungi kantor pos, orang tua juga selalu mengajak serta. Saya punya tabungan disana, dan dibiasakan mengurus tabungan itu sendiri, menyerahkan buku dan uang simpanan, menunggu antrian di depan petugas pos (teller), dan berkomunikasi, sampai akhirnya buku tabungan distempel dan dikembalikan. Semuanya saya urus sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline