Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

TERVERIFIKASI

pegiat literasi

[bolang donasi] Fenomena Gig Economy, Magnet Buruh Migran, Antara Berkah dan Musibah

Diperbarui: 21 April 2022   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CNN Indonesia

Jika anda tinggal di Aceh, ongkos ke Malaysia jauh lebih murah dari pada ke ibukota, Jakarta. Dengan maskapai paling elit-Garuda Indonesia Airways (GIA), angka bisa mencapai Rp.3 juta-an. 

Terakhir kali kunjungan ke Malaysia dengan City link dan sejenisnya, hanya dikenakan biaya tiket Rp. 250.000,-. Begitu sampai di bandara Kuala Lumpur, cukup bercakap ala Malaysia sedikit, dengan alasan hendak "melancong".

Stempel di buku pasport dengan cepat mendarat dan langsung bisa memesan taxi dan check in ke hotel terdekat di  pusat kota-Bukit Bintang.

Seorang remaja yang kebetulan berangkat satu pesawat, panik ketika ditanya petugas dan menjawab akan "bekerja"-mengikuti pamannya yang telah lebih dulu sampai disana. 

Akibatnya, ia harus masuk kamar interogasi, agar dipastikan ia tak menjadi "pendatang haram"-sebutan untuk pekerja illegal di Malaysia.

Malaysia memang salah satu magnet yang populer sebagai tempat mencari kerja bagi banyak pekerja migran Indonesia. Sekalipun banyak kasus tak menyurutkan orang untuk bisa bekerja di negeri jiran itu.

Sebenarnya realitas tak sesederhana itu, mungkin kata "luar negeri" sebagai tempat pelarian untuk mencari peluang kerja adalah pilihan kata yang tepat.

Hal itu bisa jadi berkaitan dengan istilah "gig economy'(ekonomi yang bergantung pada pekerja dengan kontrak sementara). 

Apalagi banyak sekali ragam pekerjaan yang standarnya tidak lagi tetap, seperti; Pekerja bersifat sementara, berjangka waktu tetap, musiman, berbasis proyek, paruh waktu, kontrak tanpa minimal jam kerja, kontrak kasual, agen, freelance, perifer (peripheral) atau pekerjaan yang tidak menerima tunjangan, kontingen (pekerjaan non permanen yang dibayar per kasus), eksternal, non-standar, tidak tipikal, berbasis platform, outsource, sub-kontrak, informal, tidak dideklarasikan, tidak aman, marjinal atau genting (pekerjaan yang terancam akibat kondisi keuangan).

Daya Tarik Fulus

Meskipun hanya sebagai pekerja serabutan di negeri tetangga, pendapatannya boleh dibilang  jauh lebih manusiawi daripada jika bekerja di negeri sendiri.  Dari tahun ke tahun, meski harus melalui jalur pendatang haram, banyak  pekerja ilegal kita yang bertandang ke negeri jiran. Konon lagi jika bekerja secara legal melalui jalur pengiriman tenaga kerja. 

Sejak pandemi dua tahun lalu, angkatan kerja kiriman dari Indonesia ke Malaysia jauh menurun, karena pemberlakuan Lockdown. Jika kita tidak terdaftar alamat tidak akan mendapat bantuan subsidi dari pemerintah Malaysia, namun jika resmi terdaftar setiap bulannya akan mendapat "santunan pandemi".

Tapi sekarang situasinya sudah semakin membaik.  

Setelah beritanya simpang siur tanpa kepastian, akhirnya ada ketetapan jaminan bahwa Upah Minimum Baru pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia adalah RM 1.500, itu artinya setara dengan Rp.5 juta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline