tribunkaltim
Menurut Putu Fajar Artana, dalam Kolonialisme Minyak Goreng, "Kultur" minyak goreng sawit, secara perlahan tetapi pasti, telah menghapus ingatan kebudayaan yang diwariskan nenek moyang bangsa Asia Tenggara, yang nyaris tak mengenal minyak untuk menggoreng.
Sekarang justru menjadi fenomena "migorholik"-pecandu minyak goreng. Tak ada minyak goreng semua makanan jadi hambar. Tapi sejak kasus migor menyeruak masuk dan menganggu operasinal dapur emak-emak se-Indonesia, seolah menjadi pukulan bagi kita semua.
Karena Indonesia punya budaya serba untung, apa mungkin masih bisa dibilang, ada untungnya juga kita kena krisis migor?. Terutama sebagai otokritik diri kita sendiri, karena selama ini kita memang tak introspeksi diri.
Coba saja dipikir, pernahkan kita memikirkan sehari saja tak menggunakan minyak goreng dalam semua urusan dapur dan jenis kuliner kita?. Mungkin cuma segelintir orang yang sedari awal menyadari tentang pentingnya hidup sehat, dan bisa jadi itu kelompok Food Combine-yang peka dan hati-hati sekali ketika makan.
tempo.co
Sejak kapan Migorholik?
Di awal tahun 1911, industri minyak goreng mulai masuk ketanah air. Di era berikutnya, perusahan asal Bitung-Menado, menjadi salah satu perintisnya, minyak goreng dengan cepat dapat diterima publik sebagai alternatif baru melezatkan makanan.
Menerabas kebiasaan lama kita merebus-mengukus, memanggang, membakar, mengasinkan, diasap, dikukus dan dikeringkan. Padahal, dahulu makanan yang super lezat adalah rebus singkong dan singkong bakar. Kini berubah menjadi ubi goreng, tempe goreng dan sejenisnya.
Menurut Resa Herdahita Putri dalam artikelnya Awal Mula Orang Nusantara Mengenal Gorengan, diperkenalkan orang Tionghoa. Menurut sejarawan Denys Lombard, dalam Nusa Jawa ; Jaringan Asia, dari kebiasaan menggoreng hingga alat masaknya seperti wajan asal kata wok ( wajan) dari asal kata Pot (guo) dari bahasa Kanton, memang diadopsi dari kebiasaan dapur Tionghoa.
Hal ini dikuatkan lagi oleh Sinolog, Thomas O Hollmann dalam The land of five flavor; A Cultural History of Chinese Cuisine. Menggoreng telah lama dikenal tionghoa dengan istilah stir-fry (jian chao) alias menumis, dan deep-fry (zha) yang kita kenal dengan menggoreng dengan minyak banyak. Kebiasan ini sudah dikenal sejak abad-3 dan ke-6 era Dinasti Wei Jin Utara dan Selatan.
Dan menurut Rongguang zhao, ahli sejarah dan budaya makanan Tiongkok, kedua metode ini adalah metode utama dalam mengolah makanan tradisional Tingkok.
Sedangkan dari jalur sejarah Nusantara, migor mulai dikenal seperti dijelaskan dalam Serat Centini, yang menjelaskan tentang kuliner yang digoreng dan ditumis. Awalnya menggunakan minyak dari buah kelapa, sebelum mengenal minyak kelapa sawit pada abad 19. Catatan lain juga menyebut asal minyak juga berasal dari lemak daging, kedelai dan wijen.
Selanjutnya seperti dicatat dalam kisah perjalanan Justus Van Maurik seorang pengusaha cerutu,dalam Indrukken Van Een Totok (1897) yang melihat menu gorengan berupa ikan goreng (gebakken vischjes) di warung pinggir jalan.
merdeka.com
Namun dalam sejarah panjang minyak goreng d Indonesia ada masa-masa penggunaan minyak kelapa sebagai bahan baku migor mulai nampak redup atau berakhir di dekade 1990-an. Saat itu minyak kelapa semakin hilang di pasaran.
Disebabkan perang dagang Eropa sebagai produsen minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak jagung, minyak kanola, dengan menyebut minyak kelapa sebagai biang penyakit sebagai bentuk black campaign persaingan usaha.
Dari sanalah kisah penemuan minyak kelapa sawit dimulai. Catatan sejarah De Olie Palm dan Investigations on Oil Palms menyebutkan, introduksi kelapa sawit ke Indonesia untuk pertama kali terjadi tahun 1848 hingga dikembangkan perkebunan komersial di Pulo Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh) tahun 1911.