kompas.com
Indonesia dengan ribuan pulau dan suku, punya ribuan kuliner yang memanjakan lidah. Satu persoalannya, tidak semua orang di negara lain tahu, kehebatan resep peninggalan leluhur itu. Orang mungkin familiar dengan gudeg, nasi goreng, sate, rendang, soto, tapi itu baru sedikit dari beribu sajian lain yang ada.
Makanan juga menjadi cara efektif, menyatukan banyak perbedaan. Kini makanan menjadi medium politis, alias politisasi makanan sebagai cara pendekatan multilateral atau bilateral antar negara. Apa lagi tujuannya jika bukan untuk membuat negara lain terpesona dengan kuliner dan bukan tidak mungkin akan berlanjut pada bentuk kerjasama lain, bahkan dalam urusan meredam konflik.
merdeka.com-wajah tokoh politik dari bahan makanan
Gastrodiplomasi bukan sekedar sebuah formalitas belaka. Ditujukan secara khusus, sebagai sebuah pendekatan-approach yang halus untuk "merayu". Bisa saja bentuknya kerjasama internasional bidang ekonomi, keamanan, bahkan untuk mediasi konflik . Dari jamuan tamu, menjadi cara "mencuri hati". Memang ada pepatah yang bilang dari lidah turun kehati.
Mungkin masih ada yang ingat dengan iklan produk teh. Begitu si ayah yang beda pendapat menyeruput teh buatan istrinya, maka dalam sekejap ia berubah pikiran, gara-gara seteguk teh tadi. (sebenarnya, istrinya atau tehnya yang manis, yang bikin si ayah berubah pikiran).
Apa suguhan spesial di "Nusantara"
goodnewsfromindonesia
Jika Indonesia kelak punya baru "Nusantara", apa kira-kira yang akan disuguhkan dalam jamuan kenegaraannya?. Apakah, akan dihidangkan nasi goreng, rendang, atau justru Soto Banjar, Masak Merah Saus Pedas Manis Ayam Cincane yang selalu ada di perayaan besar, atau Juhu Singkah. Mengapa Juhu Singkah?, karena masakan umbut rotan muda dengan paduan ikan baung dan terong asam dalam kuah santan, adalah kuliner khas Kalimantan Timur.
Lantas apa hubungan paling krusial antara kerjasama bilateral, multilateral, makanan dan diplomasi?. Logikanya, mulut tidak jauh dari perut, dan jika perut keroncongan, maka mulut menjadi susah bicara, karena otak "lumpuh" dan kehilangan oksigen dalam jumlah yang signifikan. Lapar dan kenyang dua hal yang hampir mirip dampaknya, sama-sama bisa bikin lemas, dan mengantuk.
Selain perannya sebagai pemenuh kebutuhan primer, makanan juga punya peran sekunder, bahkan tersier. Ia berperan sebagai "alat diplomasi" alias gastrodiplomasi.