cnnindonesia
nytimes.com
Apa yang menjadi kekuatiran dan premis banyak orang bahwa kasus pelecehan seksual pada perempuan yang banyak muncul di ruang publik saat ini, merupakan the tips of the iceberg, fenomena puncak gunung es, adalah sebuah fakta yang tidak bisa dibantah.
Banyak kasus yang tak muncul kepermukaan, sama halnya seperti kasus kekerasan seksual yang semakin marak belakangan. Banyak faktor yang menjadi "penghalangnya", yang menyebabkan perempuan korban kekerasan seksual memilih untuk diam daripada melapor dan menjadi bumerang atau menjadi stigma buruk.
Faktor lainnya, seperti ketidaktahuan soal hukum, perjanjian dibawah tangan dan kekerasan serta ancaman pelaku, maupun masih dominannya budaya patriaki di masyarakat . Atas dasar itu, kasus yang bermunculan sangat insidental, hanya ketika temuan itu terjadi secara tidak sengaja dan kemudian terekspose kepada publik yang luas. Persis seperti fenomena gunung es itu.
Apalagi jika kasusnya menimpa anak-anak, remaja yang juga sangat minim pemahamannya tentang jenis kasus pelecehan dan kekerasan seksual ini.
Kasus yang menimpa Irine Wardhanie seorang jurnalis, pada saat dirinya bekerja di media daring Geotimes, adalah salah satu contohnya. Kasus ini terekspose karena korbannya adalah seorang jurnalis.
Diluar logika sederhana, tentang statusnya sebagai jurnalis yang memungkinkan kapasitasnya memahami konsekuensi atas apa yang dilakukannya, adalah sangat manusiawi ketika ia berusaha mencari keadilan, ketika menjadi korban dari sebuah kasus pelecehan seksual, namun justru ketidakadilan yang diterimanya.
Bagaimana jika kasusnya menimpa orang yang sama sekali buta huruf, buta informasi dan buta hukum?. Apakah kasusnya akan muncul kepermukaan dari "puncak gunung es"?. Apakah memungkinkan orang lain bertindak sebagai perpanjangan tangan, sebagai penyampai informasi kasus, agar mendapat perhatian dan keadilan setimpal?.
Tentang Whistleblower