Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

TERVERIFIKASI

pegiat literasi

Slum Itu "Duri Dalam Daging" Ibukota

Diperbarui: 15 Februari 2022   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detik.com

Perencanaan kota yang tumpang tindih adalah awal bencana sosial, ekonomi dan ekologis. Urbanisasi yang berlipat terus mendesak Jakarta hingga ke pinggiran kota, apalagi setelah lebaran. Pulang mudik 3 juta orang, arus balik mudik menjadi 4 juta orang, Jakarta tekor sejuta dan bikin Gubernur Anies Baswedan koprol kepala dengan rumitnya masalah.

detik.com

Dampak paling nyata, adalah makin masifnya tanah-tanah kosong diambil alih jadi bangunan, diluar batas toleransi yang memaksa pepohonan-vegetasi kalah saing. Memancing lahirnya slum-daerah kumuh baru, terutama di pinggiran bantaran sungai, rel kereta api dan tanah kosong (tak bertuan) milik pribadi atau negara. Tanah-tanah itu menjadi ruang "pertarungan" pemerintah paling rumit.

Kawasan slum adalah sebuah kawasan kumuh dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin 

metro tempo.co

Siapa gubernur Jakarta yang berani menggusur slum-daerah kumuh, semudah membalik telapak tangan, seperti sedang main Hom-pim-pah, meskipun pemerintah punya kuasa melakukan kebijakan itu demi kota yang lebih baik. Jelas saja kebijakan itu "berbahaya" secara politik, apalagi jelang Pemilu 2024.

Kompleksitas itu tambah parah dengan masalah ruang publik, yang nyaris tak punya solusi,  seperti urusan drainase bercampur jaringan kabel listrik, telepon  sehingga air hujan tidak bisa masuk saluran drainase dan air menggenang di jalan. Genangan dalam jumlah besar dan lama menyebabkan kerusakan badan jalan dan ancaman baru masalah transportasi-kecelakaan.

Perbaikan jalan secara berkala, terutama di Jalur Pantura, setiap lebaran atau akhir tahun karena sebab pelanggaran tonase kendaraan bermuatan barang distribusi antar kota, serta banjir dadakan, solusinya sejauh ini masih "tambal sulam". Perbaiki jalan dulu, atasi banjir belakangan.

Sejak jaman Gubernur Ali Sadikin, Jakarta sebagai ibukota memang digeber pembangunannya, orientasi melebarkan kota sering bertabrakan dengan target pembangunan ibukota dalam jangka panjang. Pada akhirnya Jakarta berada dalam kondisi seperti sekarang.

Ada yang menyebut Jakarta, sebagai empang raksasa. Bahkan tumpang tindih alih guna lahan, menjadi klaster permukiman baru dari daerah areal serapan, pengalir limpasan air permukaan juga diabaikan.

Banjir dadakan karena rob atau musim penghujan, selain menimbulkan banjir, sekaligus menghilangkan partikel, menyebabkan pendangkalan. Dampak ikutan lainnya, penebangan pohon menurunkan kandungan air tanah yang mengurangi daya dukung tanah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline