suara.com
Banyak korban kejahatan seksual, "dimanfaatkan" oleh para pelaku dengan memberikan "solusi", jalan tengah. Meskipun yang disebut "solusi" adalah bentuk kamuflase-penyembunyian kejahatan dengan dalih, pemanfaatan buta hukum dan ketakutan korban terhadap resiko sosial yang akan diterima, seperti dipermalukan dan bullying.
Secara terpisah dua berita kekerasan seksual anak menimpa para pewaris masa depan kita yang masih berusia sekolah dasar. Data mutakhir, guru agama yang mencabuli 15 murid SD (Liputan6; 12/12/2021) dan data terbaru Komisioner KPAI Retno Listyarti yang menyebut bahwa, anak jenjang sekolah dasar menjadi korban kekerasan seksual sebesar 64,7 persen, diikuti anak SMP 25,53 persen, dan SMA atau sederajat 11,77 persen.
Luarbiasanya, lokasi kekerasan seksual justru terjadi di lingkungan sekolah, "rumah kedua" anak-anak kita. Biasanya terjadi di ruang kelas, ruang kepala sekolah, kebun sekolah, ruang laboratorium komputer, ruang ganti pakaian, ruang perpustakaan, bahkan terjadi di tempat ibadah pada tahun 2018.(liputan6;13/12/2021)
Situasi darurat ini tidak lagi hanya menyakiti perasaan para orang tua, namun menimbulkan kegusaran. Nalar dan logika kemanusiaan tidak lagi digunakan oleh para pelaku tindak asusila dan kekerasan seksual dan non seksual, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus belakangan ini. Berbagai peristiwa ini sekaligus menyiratkan adanya puncak gunung es (ice berg) masalah.
Kemunculan kasus per kasus secara parsial, bahkan diantaranya telah terjadi sejak lama seperti terkuaknya kasus Mawar (11) yang ternyata telah mendapat kekerasan seksual dari para pelaku sejak kelas III SD menunjukkan ada banyak peristiwa serupa yang tersembunyi.
Selesai karena ketidaktahuan proses hukum, ancaman pelaku, maupun penyelesaian secara kekeluargaan dan pembayaran "di bawah tangan" dengan memanfaatkan "buta hukum" dan kemiskinan yang masih mendera sebagian masyarakat kita.
Berkaca pada kasus berbeda, kekerasan yang menimpa almarhumah ananda Nurul Fatimah (11)-kasus di Aceh, yang ternyata telah menerima perlakuan kekerasan dari para pelaku bahkan sejak kelas I Sekolah dasar dan baru terungkap di kelas VI setelah puncak akumulasi kekerasan membuat dada para orang tua sesak. Sekedar prihatin dan menangis tidak menyelesaikan persoalan yang mungkin mewakili banyak peristiwa serupa menimpa anak-anak kita namun tidak muncul ke permukaan.
Kali ini peristiwa yang lebih menghancurkan hati nurani kita menimpa Melati, Bunga dan Mawar, ketiganya anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan menerima perlakuan kekerasan seksual. Bahkan, sebagaimana diberitakan surat kabar terbesar di Aceh, Serambi Indonesia. Mawar telah mendapat kekerasan seksual sejak setahun silam.
Bahkan Bunga yang juga masih duduk di sekolah dasar saat ini telah melahirkan bayi akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Para orang tua yang memiliki putra dan putri tentu tidak dapat membayangkan bagaimana peristiwa itu bisa menimpanya, apa yang dirasakan oleh ananda kita tersebut dan bagaimana ia mencari jalan untuk mengadu dan bagaimana rasa tertekan, stress selama menutupi seluruh peristiwa yang terjadi.
Derita yang luar biasa