Aku ber-angan, bagaimana jika suatu ketika terlempar ke sebuah galaksi yang jauh. Sendirian. Sejauh memandang, hanya menemukan bintang-bintang berwarna, berpendar, merah, biru, kuning seperti tembaga. Ketika memandang ke bumi, tiba-tiba aku bingung sendiri. Bagaimana bisa aku kembali?.
Dulu ketika di bumi, aku sering memandang langit ke galaksi bima sakti. Sebuah Mahakarya dengan triliunan bintang. Menatap lurus berharap menemukan galaksi itu. Semakin tinggi, jauh, memudar dan mendapati debu-debu putih angkasa bercahaya.
Lalu, dimana Tuhan dalam galaksi bima sakti besar itu.
Tuhan adalah semua, segala maha.
Dan galaksi itu pastilah cuma debu dihadapanNya.
Semakin aku memandang ke galaksi, semakin aku merasa kecil. Membayangkan sendirian di bumi, di atas permukaan tertinggi. Jika bumi dan galaksi begitu luasnya, lalu siapa kita sebenarnya?.Mengapa kita begitu jumawa, merasa serba bisa. Merasa paling sibuk dan berkuasa.
Sekarang aku masih berdiri di muka galaksi. Mungkin, ini memang bima sakti. Jutaan bintang berpendar di kejauhan seperti debu, dan disekelilingku bintang-bintang seperti hologram-hologram yang berkilau, menyala.
Dulu, aku duduk di atap tinggi rumahku memandangi langit, dengan teleskop binari. Aku sekarang merasa begitu, tapi disini aku tak butuh atap tinggi itu, karena aku memang di ruang angkasa bima sakti itu sendiri.
Aku tak tahu dimana matahari, apakah ini siang?, karena dalam bima sakti ada jutaan matahari. Tak ada bulan yang tertutup cahaya sehingga gerhana. Tak ada malam yang menutup siang, semua seperti siang, tak ada lagi malam, kecuali jika kita memejam mata.
Kupikir aku tak lagi bisa kembali, maka diam-diam kuambil debu-debu di bawah kaki. Mula-mula kubasuh mukaku, lalu kedua tangan hingga siku dan berhenti di telapak. Sebelum aku duduk, kubasuh kedua kakiku dengan debu galaksi itu. Apa yang bisa kulakukan dalam kekuasaanMu yang maha tinggi, selain bersimpuh.