bisnis tempo.co
Sebelum terlambat, biasakan untuk mulai "puasa emisi", salah-salah kita yang ketiban malapetakan. Buang karbonya dimana-amana, dapatnya adlam paru-paru kita.
Dunia sedang kompak merencanakan mengurangi jumlah karbon di langit kita melalui Paris Agreement (Perjanjian Paris). Target awal dimulai sejak sekarang hingga tahun 2030, berlanjut pada tahun 2040, 2045, 2050, hingga 2060. Tapi dengan begitu banyak persoalan energi kita, termasuk soal cadangan yang tersedia dan subsidi yang sudah terlanjur mengakar kuat, menyebabkan Indonesia mungkin baru bisa memenuhi tenggat net-nir emisi pada tahun 2070, sepuluh tahun terlambat dari negar lainnya.
Bayangkan jika subsidi migas dicabut pemerintah, tanpa dibarengi dengan bantuan tunai, maka massa akan segera turun kejalan, mungkin dmulai dari Bundaran HI, menuju istana dan akan berlangsung selama berminggu-minggu, sampai kebijakan subsidi diberlakukan kembali.
Padahal Indonesia, sebagai anggota OPEC saja harus membayar biaya keanggotaan sebesar 2 juta dollar pertahun, sedangkan posisi Indonesia yang tadinya eksportir migas, kini justru menjadi importir migas, padahal ini baru tahun 2021. Mau tidak mau Indonesia harus keluar dari OPEC karena posisi yang berubah tadi.
Jika mengandalkan pada pengembangan industri Mineral Tanah Jarang , yang akan dijadikan bahan baku utama pengalih energi menuju energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang membutuhkan banyak panel surya, Indonesia juga mesti berhati-hati agar tidak menabrak niat kita dalam koridor Pembangunan Berkelanjutan, membangun tapi tetap menjaga alam tetap lestari.
Belum lagi ada kebijakan Pajak karbon, yang mengharuskan kita mulai memberlakukan tarif terhadap industri, transportasi, kendaraan bermotor, rumah tangga yang menggunakan basis energi migas. Dan secara perlahan mengalih pada energi terbarukan, termasuk penggunaan energi matahari di industri, rumah tangga dan transportasi.
Inovasi Baru yang Murah
Dimasa mendatang harus terus dikembangkan alat murah untuk mengurangi emisi di udara. Banyak negara sedang mengembangkan berbagai inovasi teknologi untuk tujuan tersebut. Baru-baru ini sebuah industri rintisan High Hopes Labs, menemukan sebuah alat untuk menangkap karbon di udara dan mendaur ulang sebelum diklepas kembali dalam kondisi nir-emisi. Menurut kajian itu, jenis karbon yang bisa ditangkap adalah karbon yang dalam kondisi akan membeku. Karbon membeku dalam suhu minus 80 derajat (Celcius) dan satu-satunya tempat di mana kita dapat menemukan karbon dalam suhu yang mendekati itu, posisinya berada kurang lebih 15 kilometer di langit kita.
Dengan menggunakan alat temua berupa balon udara yang dilengkapi dengan kotak alat penangkap karbon, balon itu dapat menangkap hingga 1 ton karbon dan kemudian mendaur ulang. Keseluruhan proses itu hanya membutuhkan biaya 15 juta rupiah, untuk satu ton karbon per hari dengan biaya di bawah 100 dolar AS. Artinya jika medium itu menjadi alat yang dapat mempercepat pengurangan karbon yang dapat diukur dan dikalibrasi dengan cepat, mungkin dapat mengurangi begitu banyak karbon dengan cepat, terutama di negara-negara industri maju yang penggunaan migasnya sudah over load. Medium itu dapat menjadi dukungan percepatan program pengurangan emisi karbon, menekan biaya dan penggunaan mineral Tanah Jarang dan juga membantu berjalanya Program Pembangunan Berkelanjutan.
Kita berharap semua negara kelak bisa mengembangkan teknologi serupa. Namun alat itu masih berupa prototype, dan mungkin dimasa mendatang pengembangan serupa juga dilakukan oleh banyak negara, termasuk China yang getol luar biasa ber-inovasi, bahkan saat ini, misi luar angkasnya sudah bisa dibandingkan dengan kesuksesan pada astronot dan kosmonot, Appolo dan Sputnik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H