Ruas jalan itu memanjang hampir 500 meter, dan sebutan nama kolopaking tak jelas buatku, apakah nama pahlawan ataukah nama tokoh yang berjasa di daerah karesidenan Kebumen itu.
Setahuku sejak kecil jalan itu adalah jalan paling sibuk, karena hampir separuh aktifitas kota berada dalam areal pertokoan itu. Hampir semua jenis bisnis ada di jalan kolopaking itu, terutama para pengusaha Cina yang menjadi grosir, sehingga daerah itu hampir mirip dengan dengan Cina Town. Di baris pertama pertokoan berjejer para grosir sembako, kemudian para penjual kain dan beberapa mini market dan kelontong kecil plus pedagang kaki lima dengan dawet dan penganan juga melengkapi keramaian jalan padat itu.
Di siang hari hampir dipastikan mobil akan kesulitan mencari tempat parkir. Tapi dulu mobil-mobil didaerahku juga masih jarang, paling juga mobil niaga seperti colt diesel, atau truk kecil pengangkut barang. Kebanyakan sepeda dan beberapa sepeda motor yang dimiliki para pedagang, yang digunakan juga sebagai kendaraan pengantar barang.
Di jalan kolopaking itu, juga terdapat lorong selebar 4 meter yang memiliki gerbang dari besi berukir yang terhubung langsung ke mesjid besar kebumen.
Sedangkan bagian paling ujung dari jalan itu terdapat jembatan dan pasar gerabah yang menjual barang pecah belah dan juga yoyo. Sebuah mainan tradisional anak-anak terbuat dari kayu dengan benang sebagai pengulur dan penarik mainan tersebut. Aku pernah beberapa melewati jalur itu dan membeli beberapa buah, karena grosir aku bisa mendapatkannya dengan harga paling miring.
Jembatan kecil sepanjang 7 meter dengan palang besi bulat tanpa cat di pinggirnya, sudah ada sejak aku mulai sekolah. Di bawahnya mengalir sungai yang berujung di desa karang Sari melewati pesantren di sana dan bagian tengahnya berada di jalan menuju alun-alun kota sedangkan bagian ketiga jembatan di kolopaking tadi, di daerah pinggiran kota yang baru tumbuh. Jika kita berbelok kekanan kita akan sampai dibagian ujung jalan utama jalan pahlawan.
Kolopaking dalam amatanku mirip dengan daerah pecinan lainnya, dengan deretan gedung tua yang kokoh. memiliki tiang besar berbentuk persegi panjang, umumnya bercat putih dengan trotoar yang menyatu dengan bagian depan pertokoan. Batas paling pinggir dari jalan sepenuhnya menjadi areal parkir yang berisi deretan mobil pick up dan sepeda motor, selebihnya berisi deretan sepeda kumbang besar berwarna hitam.
Bagian kiri jalan kolopaking terhubung langsung dengan terminal kecil minibus, dengan deretan toko dan warung nasi gudeg yang ramai dan sebuah kantor pos polisi berada di dekatnya. Areal itu biasanya dipakai juga untuk area pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk atau para pedagang obat keliling yang berusaha mempertunjukkan kemampuannya berakrobat atau sekedar bermain sulap. Areal itu berpagar besi jajar berbentuk siku, untuk membedakan areal jalan kolopaking dan areal perparkiran pasar.
Di jalan kolopaking aku punya seorang teman perempuan yang orang tuanya juga pemilik toko, sepulang sekolah biasanya dia membantu orang tuanya menjadi penjaga toko. Tokonya menjual sembako, aku lupa namanya, dia ramah, manis, dengan rambut sebahu, kalau tak salah Mailidar atau syarifah namanya, aku tak ingat lagi.
Gadis berperawakan kecil itu, kalo sudah bergabung dengan Mira, Eni dan Husnul, kerjanya selalu menggangguku, apalagi kalau aku sekolah dengan sepeda mini pinjaman bengkel sebelah yang ukuran sebenarnya tak lebih besar dari aku.
Bagi anak-anak seperti kami, jalan kolopaking tak begitu menarik betul karena selain tempat penjual yoyo, dan jalan ke mesjid kami tak bisa menggunakannya untuk bermain. Tapi aku punya kisah dengan kawasan niaga itu.