Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

TERVERIFIKASI

pegiat literasi

Optimisme Aceh Pintar

Diperbarui: 29 Januari 2021   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Juni 1997, Kishore Mahbubani, ekonom dan diplomat Singapura hadir di International Conference On Thinking ke-7 di Singapura, dan mempresentasikan gagasan kontroversial, "Bisakah Orang Asia Berpikir?". Lalu menerbitkankan esai-nya dalam National Interest pada musim panas 1998. 

Tentu bukan tanpa dasar Mahbubani mengutarakan argumentasinya Di luar dugaannya publikasi ilmiahnya ini tak merangsang orang Asia bereaksi. Reaksi sebaliknya justru muncul dari kalangan Barat, asumsinya bisa jadi karena kemunculan gagasannya tak sesuai momentum atau tidak tepat dalam citarasa politik. Terutama jika orang Asia mempertanyakan pertanyaan mendasar tentang dirinya sendiri atau masa depannya. Mahbubani berkeyakinan orang Asia inferior di hadapan Barat, ini bukan perkara kolonisasi fisik, tetapi kolonisasi mental.

Disisi lain Joseph Stiglitz, ekonom Bank Dunia menangkap realitas perubahan di Asia dengan optimis dan menuangkannya dalam sebuah artikel di Asian Wall Street Journal. "Keajaiban Asia Timur adalah nyata. Transformasi ekonomi Asia Timur telah menjadi salah satu prestasi luar biasa dalam sejarah. Gelombang yang dramatis yang mencakup harapan hidup lebih lama, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan jutaan orang lainnya telah mengentaskan dirinya dari kemiskinan, dan saat ini mengarah pada kehidupan penuh harapan.

Lantas dimana posisi Indonesia dan Aceh dalam konstelasi besar tersebut? Bagaimana kita memposisikan diri, menjadi bangsa yang tidak hanya membeo, namun menciptakan trend baru. Apakah dalam konteks institusi perguruan tinggi, kita akan terus bertahan hanya menjadi "mesin" pencetak sarjana unsich, tanpa membuat perubahan dan menciptakan trend yang bisa menggiring kebijakan memakmurkan Aceh masa depan?.

Apakah kita dibebani pertanyaan besar Mahbubani,"bisakah orang Asia berpikir?". Menariknya, modalitas orang Asia berkecenderungan mempertahankan kepribadian Asia-nya, sekalipun belajar tentang Barat. Sehingga realitas yang muncul adalah sintesis atau sinkretis, berupa pola pikir holistik, tidak terkekang oleh batasan.

Basis argumentasi di atas penting dikaji lebih mendalam untuk membangun pondasi baru ketika melakukan sebuah perubahan, reformasi atau bahkan revolusi arah pembangunan pendidikan masa depan. Perubahan dan transformasi adalah sebuah keniscayaan bagi perguruan tinggi. Perguruan tinggi berada pada posisi yang dinamis di tengah masyarakat. 

Kondisi semakin kompleks ketika menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Revolusi industri adalah titik balik yang mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan manusia, yang ditandai dengan dominasi internet.

Sesungguhnya perubahan era baru itu telah diprediksi John Naisbitt dalam bukunya "8 Megatrend Asia Yang Mengubah Dunia". Salah satunya wujud perubahan trend dari industri padat karya menjadi teknologi canggih. Ketika ekonomi global terus berubah dari abad industri ke abad informasi, kunci produktivitas bukan lagi terletak pada murahnya ongkos tenaga kerja, melainkan pada pemanfaatan teknologi canggih sebaik-baiknya. Dalam sejarah planet ini, internetlah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap menit, ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak terhitung banyaknya, dalam dunia daring (online) yang tidak terikat hukum bumi.

Dimana kita?

Kendati kebangkitan perguruan tinggi di Indonesia (termasuk Aceh) dipandang terlambat, namun berada dalam posisi yang relatif kuat memasuki abad informasi dengan berbagai keuntungan; Pertama, memiliki penduduk yang relatif muda (berkah demografi); Kedua, sebagai pendatang yang terlambat dalam pembangunan, Indonesia memiliki kesempatan emas memasang infrastruktur canggih versi terbaru.

Ketiga; tidak perlu mendapatkan pendidikan ulang atas perubahan sistem perangkat teknologi lama ke baru, yang diandalkan periode industrial ke pendidikan abad informasi; Singapura adalah contoh sukses, memiliki catatan rekor luar biasa dalam upayanya beralih dari teknologi impor ke teknologi buatan dalam negeri. Hanya 10 tahun berubah dari ekonomi pusat usaha manufaktur menjadi pusat kegiatan riset dan pengembangan, dengan kesibukan bidang komputer, tehnologi media, rekayasa dasar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline