Peristiwa politik paling menarik dari fenomena tahun politik 2019, bukan lagi Jokowi atau Prabowo-nya. Jokowi Incumbent, Prabowo dua kali balon presiden, jadi jelas bukan orang baru. Fenomena yang justru menarik untuk diulik adalah balon wapres dan sosok Timses kedua kubu, baik Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandi.
Sebelum hari pendaulatannya saja, sudah jadi fenomena tersendiri. Barisan calon yang sudah ter-PHP sebelum terpilihnya Kiai Ma'ruf Amin bukan satu dua orang, begitu juga dengan kehadiran Sandiaga Uno. Terserah apapun alasannya, pada akhirnya kehadiran mereka membawa banyak dimensi penalaran, termasuk juga diskursus yang dibumbui warna-warni gesekan.
Sosok kedua balon wapres, mewakili sebuah latar belakang yang luar biasa kompleks. Dari ukuran usia saja mereka sudah dinarasikan mewakili dua generasi yang berbeda, generasi X dan generasi Y. Dari latar belakang profesi, malah makin kompleks lagi analisanya.
Sosok satu mewakili kalangan agamis, satunya lagi mewakili nasionalis hijau. Artinya kalau diukur dari sisi spiritualitas, Sandiaga Uno juga bukan semata anak muda biasa yang tak akrab dengan aktifitas Ibadah. Lain halnya dengan Kiai Ma'ruf Amin yang pasti tak diragukan lagi sisi spiritualitasnya.
Namun dalam politik, nalarnya bisa dipolitisir, yang tinggi spiritualitasnya, dianggap menjadi kelas dua ketika mengambil pilihan politik, apalagi pilihannya bukan RI satu, meskipun banyak kalangan menilai wujud partisipasi Pak Kyai adalah wujud pembentuk keseimbangan, mungkin seperti yin-yang dalam filosofi Tiong Hoa. Begitu juga dengan Sandiaga, kehadiran disebut sebagai representasi kalangan muda, generasi Z atau generasi milenial yang mapan dan sukses namun juga tak terdistorsi sisi spitualitasnya.
Jembatan politik damai?
Namun apakah kedua keterwakilan yang berbeda pautan usia, visi, dan performance kemudian bisa menjembatani banyak perbedaan di kalangan konstituen politik di Indonesia?, atau sebaliknya justru menjadi lokus munculnya gesekan dan benturan horizontal baru.
Kehadiran tim pemenangan, partisan partai politik, koaliasi partai politik menjadi mesin yang diharapkan mengoptimalkan kemenangan pimpinan pilihan rakyat. Dalam konteks inilah dimulainya friksi-friksi, disparitas, antar kelompok politik dan bisa berubah menjadi konflik vertikal horizontal.
Meskipun sesungguhnya upaya pemenangan adalah sebuah ikhtiar dan perbedaan adalah sebuah sunnah, namun ketika substansi politik dikaburkan (bukan tidak dipahami) oleh syahwat politik mau semua sunnah dan ikhtiar dilangkahi dengan tindak anarkis dan amoral.
Lantas, bagaimana peran Erick Tohir, sebagai sosok talenta muda, mapan dan sukses setelah melalui perdebatan yang intens, kemudian dipilih menjadi ikon pemenangan kubu Jokowi-Ma'ruf. Ada apa dan kenapa harus Erick?.