Fokus utama partisipasi politik adalah usaha memengaruhi alokasi otoritatif nilai-nilai bagi suatu masyarakat. (Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson)
KUTU loncat bukan sekadar istilah tanpa tendensi, bahkan bermakna politis ketika dikaitkan dengan dinamika perpolitikan. Diksi ini mungkin dipilih karena menjelaskan secara tepat dan mudah padanan kata "berpindah tempat". Fenomena ini tidak hanya terjadi di Aceh, tapi juga di kancah perpolitikan Nasional. Crish John, misalnya, seorang petinju muda Indonesia yang masuk dunia politik pascarehat dari tinju profesional, pindah dari Partai Demokrat ke Partai Nasdem.
Pola dinamika politik itu dianggap lumrah, ketika secara visi politik dianggap tak sejalan atau kebijakan partai tak lagi sehaluan, sehingga memuluskan jalan meloncat menuju "rumah" baru.
Sepanjang substansi pentingnya meneguhkan identitas sosialnya sebagai wakil rakyat sejati, bukan sekadar prestise legislatif belaka, karena partisipasi politik bukan pekerjaan cilet-cilet seperti ujaran Hutington dan Nelson dalam bukunya, No Easy Choice; Political Participation in Developing Countries yang kita kutip di atas.
Dalam kondisi politik yang kekuatannya terfragmentasi, tidak mudah mengonsolidasikan demokrasi menjadi mesin ideal. Banyak acuan menjadi dasar pertimbangan politisnya. Banyak hal harus diperbaiki agar demokrasi tidak berhenti pada demokrasi prosedural, melainkan naik kelas ke demokrasi substansial. Bisa jadi pola demokrasi prosedural ini yang menjadi salah satu alasan mengapa orang berbondong-bondong masuk partai dan 'kutu loncat' menetapkan pikiran untuk berpindah.
Fenomena "kutu loncat" menimbulkan praduga, bahkan polarisasi dalam masyarakat, apalagi ketika muncul bergelombang sebagai gejala politik tak biasa. Sebagian awam menanggapi secara skeptis sebagai kewajaran ketika seseorang memilih pindah rumah yang dianggapnya tidak lagi nyaman.
Sementara yang lain menilainya secara kritis sebagai tindakan politis, bentuk perlawanan-penggembosan dukungan, kritik internal atau bahkan upaya politis mencari "perahu pelampung" agar aman dalam lima tahun periode berikutnya. Analisis ini secara halus menyebut kaitan dengan upaya "meneguhkan identitas sosialnya".
Konsolidasi demokrasi
Apalagi Aceh adalah sebuah daerah yang sedang menata dan mengonsolidasikan demokrasinya. Karena format demokrasi Aceh hingga hari ini belum menemukan bentuk yang utuh dan tepat.
Proses demokrasi berdinamika seiring jalan dengan polarisasi yang muncul di tataran elite maupun di kalangan masyarakat biasa, yang melihat sepak terjang para politisi dari jauh di luar gedung perlemen. Keterbukaan politik saat ini, makin membebaskan orang secara proaktif mengkritisi proses demokrasinya sendiri.