SEBENARNYA banyak pihak yang tidak terkejut dengan kemungkinan bakal terjadinya Operasi Tangkap Tangan (OTT), seperti yang menimpa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Hanya soal waktu dan siapa yang bakal terjaring pertama dalam jangkauan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kebetulan OTT pertama justru menimpa tokoh "Aceh Satu", sehingga menimbulkan kehebohan. Hal yang paling menarik adalah momentum pembelajarannya. Bagaimana kita menyikapinya dengan lebih bijaksana, adalah keniscayaan yang mesti diserap oleh para pemimpin kita, seperti muatan dalam editorial Salam Serambi (Serambi, 7/7/2018).
Meskipun tidak dipungkiri bahwa belakangan banyak polemik yang muncul ke permukaan di Aceh, baik terkait APBA maupun gesekan antar-elite, termutakhir adalah sidang paripurna yang mengagendakan kehadiran Pak Gubernur untuk mengklarifikasi beberapa persoalan yang dianggap "mengganggu" Aceh hari ini. Termasuk beberapa persoalan pribadi yang kemudian dimasukkan menjadi menu agenda sidang legislatif tersebut.
Persoalan pribadi itu "dianggap" berkaitan, terutama ketika media sosial menjadi ruang yang membuat dinding pembatas antara profesionalitas gubernur dan urusan pribadinya menjadi setipis membran, sehingga DPRA sampai mengagendakanya dalam sebuah sidang paripurna.
Persoalan berikutnya berkaitan dengan sepak terjang KPK yang kini mulai membuahkan hasil dan tidak tanggung-tanggung, "Aceh Satu" menjadi jeratan pertamanya dalam format OTT. Bahkan dalam pemberitaan disinyalir, kasus ini akan menyeret lebih banyak "pesakitan" tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme dalam daftar penjahat kerah putih (white collar crime) KPK.
Saat ini kita dibuat penasaran dengan rencana pengajuan Staf Khusus Gubernur Aceh, Hendri Yuzal menjadi saksi utama dalam kasus OTT Gubernur Irwandi. Setelah menunggu kemunculan aksi whistle blower dalam berbagai kasus rasuah di Aceh yang tak kunjung datang, kelak kita bakal disuguhi hasil justice collaborator untuk membongkar banyak sisi kebrobrokan eksekutif dan legislatif kita.
Ekspektasi kita tentu tidak hanya untuk mempermalukan Aceh sendiri, namun agar menjadi pembelajaran bagi banyak pihak yang mungkin berniat melakukan, sedang melakukan kejahatan atau sudah melakukan kejahatan, namun "sedang menanti dalam daftar tunggu" OTT atau bongkar kasus oleh KPK.
Pembelajaran untuk semua
Maka opini bijak dalam Salam Serambi yang merujuk pada rasa jumawa dan senang di atas penderitaan orang lain karena "saingan" menjadi tersangka, bukan tidak mungkin akan menjadi blunder dan memerangkap dirinya sendiri di saat yang lain. Karena "sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu akan jatuh jua".
Begitupun dengan keyakinan bahwa ada deretan "jamaah" tersangka kejahatan kerah putih yang sedang menunggu waktu, bakal disidik KPK dan berakhir menjadi tersangka dengan pakaian orange bertuliskan "Tahanan KPK". Maka waspadalah bagi siapa pun pemimpin yang tak berkehendak untuk belajar dari pengalaman.
Semakin tinggi pohon, maka semakin keras angin berhembus. Namun ketika memilih menjadi rumput, kita juga akan diinjak oleh siapa pun dengan mudah, maka menjadi di antaranya adalah sebuah keniscayaan yang lebih bijaksana.