Lihat ke Halaman Asli

Zalimisasi Ala Jokowi Sebuah Teori Usang

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi-Ahok menggalang kampanye menggunakan Teori Zalimisasi. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, yang mencoba mengadu nasib di Jakarta ini, terinspirasi sukses SBY memenangi dua kali Pemilihan Presiden (2004 dan 2009). Teori Zalimisasi SBY memang terbukti ampuh, wajarlah lantas diciplak mentah-mentah oleh Jokowi-Ahok.

SBY, pada Pilpres 2004, berhasil mencitrakan dirinya terzalimi oleh Presiden Megawati selama menjadi Menkopolkam. Lalu, Pada Pilpres 2009, SBY kembali mencitrakan diri sebagai orang yang dizalimi dengan banyak melakukan curhat. Kadang curhatnya berlebihan dan tak masuk akal, seperti menceritakan ia dan keluarganya diganggu sihir oleh lawan politik. Modus ini yang kemudian digunakan oleh Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Ia mencitrakan diri sebagai semut yang dizalimi oleh gajah.

Silakan cermati dalam kurun waktu satu dua pekan terakhir, di berbagaikesempatan, Jokowi-Ahok selalu tampil nelangsa. “Hati-hati di putaran kedua ini. Kita dikepung, dikeroyok gajah-gajah besar. Kita ini memang kayak semut lawan gajah-gajah besar. Gajah memang banyak tapi semut lebih banyak lagi.”

Kalimat tersebut tidak hanya keluar dari mulut Jokowi atau Ahok, tapi juga sudah di-copy paste oleh sejumlah pentolan tim suksesnya, hingga Megawati Soekarnoputri.Tujuannya tentu tidak lain agar tagline kampanye itu meresap di benak warga, lalu mau bersimpati memilih Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua.

Jokowi-Ahok dan tentu saja tim suksesnya sangat berharap dengan memposisikan diri sebagai korban kezaliman akan mampu merengkuh simpati warga. Isu SARA beberapa waktu lalu atau isu semut dikeroyok gajah adalah pencitraan bermuatan semangat mengalah untuk menang.Sayangnya, menuju hari pencoblosan tanggal 20 September 2012, warga Jakarta memiliki cukup waktu untuk memilah, menimbang, hingga menyimpulkan, apakah mau terkecoh oleh pencitraan Teori Zalimisasi ini?

Di era SBY, baik 2004 maupun 2009, pencitraan diri melalui zalimisasi memiliki daya tarik pesan pada emotional appeals. SBY memberikan penekanan pada hal-hal yang bersifat emosional. Penyajian pesan diarahkan pada upaya memberikan gambaran tentang kesedihannya sebagai sosok yang dizalimi.

Pencitraan SBY juga sangat taktis, karena di samping emotional appeals, pesan penzaliman yang dialaminya juga memiliki daya tarik rational appeals. Selain curhat-curhat Presiden belakangan, penzaliman yang dialaminya semasa menjabat Menkopolkam nyaris tak terklarifikasi oleh lawan politiknya. Hal inilah yang kemudian tidak tercermati oleh Jokowi-Ahok dalam mengelola kampanye penzaliman di Pilkada DKI.

Apakah pesan tentang penzaliman Jokowi-Ahok memiliki daya tarik secara emotional appeals dan rational appeals? Semua tergantung karakteristik khalayak yang menerima pesan itu. Bila penerima pesan adalah khalayak yang memiliki keterikatan emosional, di sini SARA tak bisa dinafikan sebab kaum pendatang dari Jawa pasti tetap bergeming memilih Jokowi, maka suara dipastikan terdulang dengan signifikan. Tapi, hal tersebut hanya akan berlaku bila pada kenyataan nanti rata-rata pemilih mengabaikan rational appeals.

Fakta lainnya, pernyataan Jokowi yang seolah ia dan pasangannya dizalimi, sebenarnya sungguh ganjil. Makna kata dizalimi adalah diberlakukan tidak adil. Lantas, apakah dengan ia tidak mendapat dukungan dari partai-partai besar itu bisa dikonotasikan dizalimi? Hal yang berbeda bila sebelumnya ada kesepakatan antara ia dan sejumlah partai, lalu kemudian dukungan yang didapat tidak sebanding dengan apa yang disepakati. Di sini, sekali lagi, Jokowi sebenarnya tidak tepat menyebut dirinya dizalimi. Tidak ada yang menzalimi dan dizalimi dalam konteks dukungan partai kepada salah satu kandidat pada kasus ini.

Warga Jakarta yang mencermati secara rasional pasti mengetahui bahwa model zalimisasi yang dikembangkan Jokowi-Ahok semata untuk kepentingan pencitraan politik. Alih-alih berharap bisa menipu emosi kelompok marjinal yang masih terbelakang, Jokowi-Ahok melupakan faktamayoritas warga Jakarta tidak terlalu bodoh untuk lantas terlena ikut-ikutan menjadi semut. Saatnya membuktikan warga Jakarta kini bukan lagi semut-semut yang hanya merubung manisnya gula di ibukota. Warga Jakarta kini sudah menjadi gajah-gajah besar yang siap menghadapi persaingan di dunia global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline