Lihat ke Halaman Asli

Pameran Musik "Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan"

Diperbarui: 19 Januari 2016   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Poster Pameran Musik "Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan" (desain oleh draCill)"][/caption]Menikmati musik hari ini rasanya sungguh berbeda dengan dulu. Bukan perkara kualitas musiknya (karena itu tergantung selera dan keluasan cakrawala rasa masing-masing penikmatnya), melainkan soal kelengkapan menunya. Ibarat kata makanan, dulu musik disuguhkan 4 sehat 5 sempurna, hari ini disajikan dengan standar junk food, seadanya saja. Kenikmatan musik kita sudah dipangkas. Dirampas!

Kita bisa panjang lebar berkeluh kesah menyalahkan industri musik dan pemilik modal. Ada benarnya juga. Merekalah yang sudah dengan sengaja menghapus artwork dari album musik, meniadakan poster konser layak koleksi dan desain t-shirt yang layak pakai. Lebih parah, mereka dengan pertimbangan matang sudah menyunat kadar agresi (dan gugatan) dari lagu-lagu rock kita dan menjadikan konser rock sekadar hingar bingar ledakan tata suara dan tata cahaya yang membutakan mata, tanpa makna.

Cara lain, yang tentu saja jauh lebih elegan, adalah melawan melalui pameran, mendorong perubahan dengan cara intelek, bukan dengan turun ke jalanan. Ya, meski terdengar agak absurd, pameran adalah salah satu cara terbaik untuk menyampaikan pesan dan menggugah kesadaran publik.

Jadilah. Sebuah pameran tentang perlawanan tersebut akan digelar di Studio Sang Akar, Jl. Tebet Dalam 1, No. 22, Jakarta Selatan, selama 14 hari penuh, dari 23 Januari hingga 5 Februari 2016 yang akan datang. Pameran musik itu diberi tajuk “Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan”. Ngeri, ya?

Apa yang akan bisa dipetik publik yang mengunjungi pameran ini? Nah, ini yang sangat menarik.

Sigit D. Pratama yang berperan sebagai kurator, dengan dramatis, menyusun 16 komponen pameran yang keseluruhannya bercerita mengenai musik. Bukan musik pada umumnya, melainkan musik sebagaimana kita, penggemar musik sungguhan, memahaminya.

Ketika pertama kali membuka pintu Studio Sang Akar, melihatlah ke kanan. Di dinding putih terpampang judul buku “Rock Memberontak” dalam sticker transparan berukuran besar. Selamat datang ke alam pikiran para pemberontak yang menolak suguhan musik seadanya saja.

Lanjutkan langkah, tataplah ke depan. Ilustrasi Davro menyuguhkan dua sosok musisi pemberontak yang sudah melegenda di kancah grunge lokal, Che Cupumanik dan Robi Navicula. Merekalah sumber utama naskah buku “Rock Memberontak”. Senafas dengan buku yang membongkar isi pikiran keduanya, Davro membongkar citra Che dan Robi ke dalam komponen-komponen kecil penyusun semesta mereka, seperti buku, sumber pangan, dan alam liar yang terancam.

Mulai titik itu, jadilah orang Indonesia pada umumnya, yang selalu berjalan di sisi kiri. Telusuri dinding-dinding studio. Di sana akan kita temukan poster-poster konser layak koleksi milik komunitas Pearl Jam Indonesia dan Navicula. Itulah akar dari semua ini. Penulis, desainer, ilustrator, fotografer, hingga tokoh yang diceritakan dalam buku “Rock Memberontak”, semua berasal (dan masih berinteraksi) dari sana, Pearl Jam Indonesia. Poster-poster itu, tentu saja, dibuat dengan sangat baik oleh Iroel.

Melanjutkan langkah, kembali kita akan bertemu dengan ilustrasi buatan Davro. Dalam detil yang memesona, dia menyuguhkan “Mafia Hukum” dan “Dua Senja Pohon Tua”, yang merupakan materi dari dua buku yang berbeda. Melalui ilustrasi tersebut, kita akan disadarkan pada kenyataan bahwa musik punya dimensi non-bunyi yang sama detil dan menyihirnya, juga kaya makna. Dimensi itu, barangkali, hanya ada di ruang pameran seperti ini, bukan di industri musik sesungguhnya.

Hasil jepretan Rudolf Maurits, yang lebih dikenal sebagai Si Bobo, jadi menu berikutnya. Dari konser bawah tanah hingga konser di Monas yang megah, Bobo jeli merekam momen. Melalui lensa kameranya dia merekam, dengan akurat, betapa konser rock saat ini demikian lebar spektrum kualitasnya, hingga kita, sebagai penikmat, mustahil mengharapkan sebuah standar pengalaman tertentu. Konser besar bisa saja berakhir hambar. Penikmat musik, atau bahkan musisinya sekalipun, silakan terima nasib. Kualitas konser sepenuhnya berada dalam kuasa sponsor, para pemilik modal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline