HARI KESATU
Gambir. Sabtu. 05:15 WIB.
Buset! Ngapain saya pagi-pagi buta gitu udah nongkrong di Gambir?
Tidak lain tidak bukan, untuk mengejar jadual kereta Cirebon Ekspres yang akan meluncur tepat jam 06:05 WIB. Dan ternyata, di pagi buta seperti itu, stasiun Gambir sudah penuh dengan calon penumpang!
Saya, Icha, Amus, Hariez, Dracil, Dhia, dan Sanggit adalah rombongan Pearl Jam Indonesia (PJId) yang berangkat dari Jakarta. Di Cirebon nanti rombongan akan ditambah dua orang sobat kental Amus yang bernama Ame dan Januar. Sayang bung Urip, Gati, dan Ike, bocah-bocah PJId yang berdarah Cirebon asli, malah tidak bisa ikut dalam perjalanan kuliner dan budaya kali ini.
[caption id="attachment_176086" align="aligncenter" width="300" caption="Stasiun Cirebon (foto oleh Amus)"][/caption] Cirebon Ekspres meluncur tepat waktu dan lancar. Jam 9 lebih sedikit kami sudah tiba di stasiun Cirebon. Dengan ketinggian hanya 4 mdpl, tak heran jika udara disana gerah bukan kepalang. Selamat datang di Cirebon!
Ame menjemput kami di stasiun. Tujuan pertama perjalanan hari ini, tentu saja, adalah lokasi sarapan. Pilihannya hanya satu: Empal Gentong Mang Darma!
Maka mampirlah kami ke warung makan nan legendaris itu.
Berlokasi tak jauh dari stasiun Cirebon (sebenarnya semua tempat di Cirebon saling berdekatan, karena kotanya memang kecil), Empal Gentong Mang Darma memiliki tempat yang lumayan luas, namun saat itu penuh dengan pengunjung.
Disini, pilihan makan hanya ada 2: daging saja atau campur. Campur itu artinya segala macam jeroan masuk kedalam menu. Hah! Tentu saja itu sangat berbahaya bagi saya, hehehe...
[caption id="attachment_176087" align="aligncenter" width="300" caption="Empal Gentong Mang Darma (foto oleh Amus)"]
[/caption] Empal Gentong yang mirip coto Makassar itu disajikan dengan bubuk sambal kering berwarna merah bata yang pedasnya luar biasa. Satu sendok teh saja sudah cukup untuk membuat kepala berasap! Dilengkapi dengan kerupuk kulit kerbau berukuran jumbo, sarapan kami pagi itu berlangsung sempurna!
Setelah menjemput Januar di tepi kuburan, kami melanjutkan perjalanan ke Linggarjati. Tujuannya, tentu saja, adalah bangunan bersejarah tempat perundingan Linggarjati diselenggarakan pada tahun 1946.
[caption id="attachment_176088" align="aligncenter" width="300" caption="Gedung Perundingan Linggarjati (foto oleh Amus)"]
[/caption] Bangunan milik seorang petinggi Belanda yang menikahi perempuan pribumi itu, yang sempat menjadi hotel Merdeka dan sekolah dasar negeri, sebelum kemudian dipugar dan dijadikan bangunan bersejarah yang dilindungi pemerintah, berlokasi di sebuah bukit. Dekat sekali dengan pintu masuk jalur pendakian ke gunung Ciremai. Udaranya? Tentu saja bersih dan sejuk sekali.
Didalamnya masih ada meja dan kursi asli yang digunakan delegasi Indonesia, Belanda, maupun tim penengah ketika mereka berunding, 66 tahun yang lalu.
[caption id="attachment_176089" align="aligncenter" width="300" caption="Diorama Perundingan Linggarjati (foto oleh Amus)"]
[/caption] Ada juga diorama yang menggambarkan suasana perundingan. Puluhan foto hitam putih digantung disepanjang dinding. Menambah kesan tua dan penuh sejarah dari bangunan penting itu.
Foto favorit saya adalah Amir Sjariffudin yang sekilas mirip Chairil Anwar dan menteri sosial pertama Indonesia, Maria Ulfah Santoso. Satu lagi, foto Soekarno muda dengan muka sepaknya yang seolah berkata: “Hey Londo, modyar kowe!”
Setelah menikmati kesejukan udara dan berfoto di taman sekitar, kami meneruskan perjalanan ke curug (air terjun) Putri. Lokasi camping ground yang ternyata hari itu dipadati oleh lebih dari 100 peserta pelatihan Palang Merah Remaja. Wow! Kegiatan sekolah yang sederhana namun penuh manfaat seperti itu ternyata masih ada ya?
Perjalanan menuju curug Putri, seperti juga ke curug-curug lainnya, harus melalui medan yang mendaki dan badan jalan yang sedikit rusak.
[caption id="attachment_176090" align="aligncenter" width="300" caption="Curug Putri (foto oleh Amus)"]
[/caption] Di lokasi air terjun kecil itu kami menikmati kesegaran air gunung yang membekukan kaki, berfoto, bermain gitar, dan bernyanyi. Ah, kedengarannya macam liburan era ‘80an sekali!
Kembali ke parkiran mobil melalui jalan mendaki dari lokasi air terjun menjadi olahraga terberat hari itu. Sungguh jahanam! Kemana perginya semua kekuatan saya yang dulu bisa saya andalkan untuk menempuh pendakian gunung berhari-hari lamanya?
Menunduk dan melihat perut, maka jelaslah semua, hahahaha!
Sebenarnya kami semua sudah kelaparan. Maklum, sudah hampir jam 2 siang. Namun, kebun stroberi di tepi jalan turun ke kota terlalu menggoda untuk dilewati begitu saja. Jadilah kami kemudian mampir kesana, memetik banyak sekali buah stroberi yang berwarna merah cerah menggoda.
[caption id="attachment_176091" align="aligncenter" width="300" caption="Stroberi Palutungan (foto oleh Amus)"]
[/caption] Berbeda dengan stroberi yang biasa saya temui di Jakarta, stroberi di kebun Palutungan ini rasanya manis dan mengandung banyak sekali air. Nyam!
Puas menikmati stroberi, kami menyusuri jalan turun. Nah, sepanjang jalan itu banyak sekali tumbuh pohon Kesemek. Buahnya yang berwarna kuning dan oranye sungguh menarik perhatian.
[caption id="attachment_176093" align="aligncenter" width="300" caption="Kesemek Hasil Curian (foto oleh Icha)"]
[/caption] Maka kemudian kami berhenti dan mencuri beberapa biji untuk dibawa pulang. Sebenarnya yang mencuri hanya dua orang sih. Ame dan Dracil! Sisanya hanya menyoraki, memberi semangat sambil melihat-lihat keadaan, jangan sampai ada tukang kebun yang datang membawa cangkul dan mengejar kami semua.
Hari sudah sore ketika akhirnya kami tiba kembali di kota Cirebon. Menu makan siang kami yang sangat terlambat itu, untungnya adalah gado-gado Ampera dan es campurnya yang lezat! Tambah satu porsi tahu Gejrot, maka lengkaplah sudah!
[caption id="attachment_176094" align="aligncenter" width="300" caption="Gado-gado Ampera (foto oleh Icha)"]
[/caption] Saatnya beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan wisata kuliner kota Cirebon malam nanti...
Jam 8 malam kami kembali menapaki jalanan kota Cirebon yang, pada waktu itu, masih tetap terasa gerah. Menu malam ini adalah seafood H. Moel, warung makan legendaris lainnya yang jadi primadona di kota ini.
Pesan apa disana?
Ikan bawal bakar, ikan kakap bakar, dua porsi udang bakar madu, dua porsi kepiting, satu porsi cumi goreng tepung, tiga macam masakan sayur-mayur, berpuluh batang otak-otak, dan berbakul-bakul nasi organik.
[caption id="attachment_176095" align="aligncenter" width="300" caption="Seafood H. Moel (foto oleh Amus)"]
[/caption] Yang bayar siapa? Tentu saja, Amus yang sedang berulang tahun!
Hampir jam 11 malam ketika kami beranjak dari warung seafood H. Moel, menuju tepi jalan di depan keraton Kasepuhan. Disanalah kami menutup malam dengan segelas jahe merah susu dan sepotong surabi yang dibakar menggunakan arang. Ah, nikmatnya...
[caption id="attachment_176096" align="aligncenter" width="300" caption="Surabi depan keraton Kasepuhan (foto oleh Amus)"]
[/caption] Saatnya tidur, mengumpulkan tenaga untuk menjalani hari kedua...
(bersambung)