Lihat ke Halaman Asli

Musik 2011: PJ20 - Cerita Tentang Perubahan

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_131321" align="aligncenter" width="300" caption="Tiket Film PJ20 Jakarta"][/caption] Dua puluh tahun lalu, ketika kali pertama Eddie menuliskan lirik Alive sembari berselancar di lautan pagi San Diego yang dingin, yang tertuang adalah kepedihan hidup. Bukan semangat bertahan hidup, seperti yang selama ini sebagian besar dari kita, fans Pearl Jam (PJ) di seluruh dunia, pahami.

Ya, bagi Eddie, Alive adalah cerita tentang malapetaka dan kesedihan tiada tara. Sama sekali bukan lagu penuh semangat untuk menyambut segala berkah yang diberikan kehidupan pada manusia.

Namun jutaan fans, terutama yang berdiri tegar di garis keras dan lulus ujian No Code, mengubah semuanya...

Ikatan batin dirinya dengan fans yang selalu lantang berteriak bersamanya kala Alive dikumandangkan, perlahan mengikis semua kepedihan. Mengubah malapetaka menjadi cerita cinta.

Kini, dua puluh tahun dan nyaris seribu konser setelah surfing pagi nan bersejarah itu, Alive memiliki makna yang berbeda bagi Eddie. Kini, bagi kita maupun dirinya, Alive adalah sama: perayaan hidup. Sebuah versi paling keren sejagat raya tentang rasa syukur dari seorang manusia yang pada dasarnya tidak berdaya.

Menangkap dan mengungkapkan perubahan dalam diri PJ. Kiranya itulah pesan terbesar yang terkandung dalam PEARL JAM TWENTY (PJ20), film dokumenter perjalanan PJ yang disutradarai Cameron Crowe. Film bersejarah yang dengan teramat sangat susah payah akhirnya bisa dihadirkan ke hadapan 500 fans yang berkumpul pada Selasa, 20 September 2011, jam 21:00, di Epicentrum XXI Kuningan, Jakarta.

Simaklah bagaimana Stone Gossard yang flamboyan berubah menjadi sosok yang gelap dan sarkas setelah kematian Andy Wood, yang juga menjadi kehancuran proyek raksasa pertamanya: Mother Love Bone. Bahkan penghargaan setinggi Grammy pun tak mampu membuatnya tersenyum barang secuil. Alih-alih senang dan berbangga hati, artefak penting itu malah diletakkan begitu saja dan terbengkalai di gudang!

Dan Eddie. Lihat bagaimana dia bertransformasi dari seorang penyanyi pemalu menjadi pemarah. Menjadi monyet gila yang selama nyaris tiga tahun penuh, biasanya pada tengah lagu Porch, selalu memanjat bagian panggung manapun yang bisa dipanjat. Menjadi pecandu stage diving dari ketinggian yang membahayakan jiwa. Sampai akhirnya, setelah mendapat bimbingan dari Neil Young, menjadi sosok dewasa yang menyingkirkan semua omong kosong tentang ketenaran dan mengembalikan segalanya pada satu-satunya hal yang benar-benar penting dan bermakna: musik.

Satu hal yang jelas tidak berubah sedikit pun dari dirinya: menumpahkan hati sepenuhnya di setiap lagu maupun konser PJ. Untuk yang satu ini, dia benar-benar sosok berkepala batu!

Film ini, tentu saja, juga bercerita mengenai perkembangan sosok PJ, sebagai kumpulan musisi bertalenta luar biasa maupun sebagai manusia biasa...

Perhatikan baik-baik, boleh sambil meneteskan liur, ternganga, atau menjerit histeris, bagaimana PJ tak henti berubah dari satu wujud kumpulan musik ke wujud lainnya.

Dimulai dari band rongsokan yang berlatih di loteng sampai kemudian meledak jadi band paling dinanti, 9 bulan setelah diluncurkannya album pertama mereka yang fenomenal, Ten.

Menapaki mega stardom sebagai band rock paling hebat sedunia yang mampu menjual 1 juta keping album dalam waktu kurang dari seminggu, hingga kemudian terseret dan tersaruk dalam pusaran ketenaran yang mengerikan. Sampai akhirnya mereka membentur dinding dalam pesta peluncuran film Singles dan memutuskan bahwa mereka akan menjawab “No!” untuk semua hal yang tidak berkaitan dengan musik dan proses kreasi seni murni.

Perubahan terus terjadi, menuju arah yang tidak sepenuhnya cerah...

Grammy untuk Spin The Black Circle diterima dengan sinis. Ticketmaster diajak perang. Dan Eddie memutuskan untuk tur menggunakan van, sementara anggota PJ lainnya terbang menggunakan jet yang nyaman.

Inilah masa tergelap PJ ketika, secara diam-diam namun sepenuhnya terasa, kendali band bergeser dari duo Stone-Jeff yang memiliki visi bisnis jernih ke Eddie yang bertindak sepenuhnya berdasarkan insting.

Selama perubahan itu, untungnya, mereka berpegang teguh pada dua hal yang paling nyata: musik dan fans. Inilah yang kiranya nanti berhasil membuat mereka tetap waras, tetap berkarya, dan terbukti tetap mampu berjaya, dua puluh tahun setelah ledakan Ten.

Dua jam perjalanan audio-visual yang sangat emosional ini terasa singkat. Begitu pandai Cameron Crowe menyusun semua materi sampai-sampai dia nyaris tak perlu bertutur sama sekali. Kelebatan gambar, kilasan video, dan nuansa musik yang ditampilkan benar-benar mampu bercerita. Secara lengkap, nyaris tanpa cela, tentang salah satu rock band terhebat sepanjang sejarah.

Ketika Alive, yang dimainkan dengan versi solo guitar yang luar biasa panjang, berkumandang, bahkan pacar saya yang tidak bisa dikatakan fans PJ pun dengan pasti bisa mengatakan bahwa film ini akan segera berakhir.

Matahari paling bersejarah dalam cerita Pearl Jam Indonesia (PJId) sudah akan berganti dengan matahari yang baru, dan semua kegembiraan akan segera berakhir. Hari indah yang dimulai dengan mengantri tiket, menonton sesi akustik di emperan teater, dan dipuncaki dengan menyaksikan film PJ20 ini akan segera menjadi kenangan. Satu dari yang terindah, tentu saja.

Dan kita, fans PJ di Indonesia, kini kekurangan satu mimpi lagi: menyaksikan PJ konser di negeri sendiri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline