[caption id="attachment_141871" align="aligncenter" width="300" caption="Es Kopi di Kedai Tak Kie - foto by Icha"][/caption] Jam 4 sore. Nyaris tiga jam setelah acara kuliner akhir pekan di seputaran Gang Gloria, Petak Sembilan, Kota, selesai. Jantung semakin cepat berpacu. Mata tak bisa dipejamkan. Padahal badan terasa penat akibat jalan kaki beberapa jam lamanya dibawah terik matahari bulan November.
Ya, rupanya inilah efek samping dari dua gelas es kopi kedai Tak Kie nan legendaris itu. Racikan kopi Lampung yang dimasak di dandang besar, gula pasir, dan es batu. Cukup sepuluh ribu rupiah saja per gelas. Namun rasa dan efeknya, sungguh luar biasa!
Kuliner akhir pekan bertajuk “Kuliner.Id” (yang road map-nya mengacu pada saran ahli dari Pak Bondan via twitter) ini dimulai dengan berantakan. Janji kumpul di halte Transjakarta Glodok pukul 08:00 tak pernah terwujud.
Kelompok pertama yang berisi 4 orang, satu diantaranya si Kuda, berangkat terlebih dulu ke Gang Gloria, berhubung rekan-rekan lainnya belum menampakkan perut penuh dosanya.
Kelompok kedua yang berisi saya, Icha, Hilman, Gina, Aksboy (bocah mungil yang gemar mandi sinar matahari), dan Hariez, muncul setengah jam kemudian dan langsung menyusul ke TKP. Sementara Davro, Amus, dan Dhia datang paling belakangan, satu per satu, seperti lagunya Iwan Fals.
[caption id="attachment_141872" align="aligncenter" width="300" caption="Bihun sapi Kari Lam - foto by Icha"][/caption]
Pagi yang terang benderang itu langsung dibuka dengan cakwe pedas, kopi susu, dan bihun sapi Kari Lam. Bihunnya nikmat, kuahnya juara, potongan kentangnya matang sempurna, dan daging sapinya, lembut benar. Sungguh nikmat!
Tak cukup sampai disitu, seporsi Gado-gado Direksi pun disikat. Alamak! Rakus nian!
[caption id="attachment_141873" align="aligncenter" width="300" caption="Gado-gado Direksi - foto by Icha"][/caption] Selesai menikmati sarapan dan omong-kosong pagi hari, kami beranjak dari gang yang penuh sesak itu. Menyeret perut yang terasa berat, masuk ke gang yang tak kalah sesak, di seberang.
Gang ini membawa kami ke sebuah vihara bernama Dharma Bakti. Sepertinya bukan hanya satu, melainkan 3 rumah ibadah besar yang menyatu. Mohon maaf jika saya salah menggambarkannya, karena pengetahuan saya soal ini nol besar.
Namun, jauh sebelum mencapai vihara itu, kami mesti menembus barisan motor dan truk serta mobil yang berjibaku di gang sempit itu. Sungguh pemandangan yang hanya ada di Jakarta!
Seorang bapak yang membonceng anaknya di sepeda motor berteriak marah kepada supir truk yang belagak budeg dan pasang muka tembok. Seorang lelaki tua memaki dan mengacungkan kepalan tangan pada supir mobil di depannya, yang mendadak memundurkan mobil dan (barangkali) tak sengaja menabrak sepeda motor si bapak tua.
Astaga! Hari masih pagi, tensi sudah tinggi!
Di sepanjang gang itu terhampar beragam jualan bahan makanan segar. Jamur, ubi jalar berwarna merah terang, sayur-mayur, lobak, sampai rempah-rempah. Tak ketinggalan teripang yang sudah dibersihkan dan ditaruh di baskom berisi air bersih, ikan dan kepiting yang diikat rapi, juga katak hidup yang disusun seperti kartu remi dan sebagian sudah dikuliti. Jelas ini bukanlah pemandangan yang biasa saya nikmati sehari-hari.
Pada kesempatan yang jarang seperti inilah wajah petani, tukang kebun, dan nelayan melintas dalam benak. Wajah-wajah sederhana yang barangkali tidak pernah saya hargai sebagaimana mestinya, mengingat jasa mereka yang demikian besar dalam memenuhi kebutuhan makan saya sehari-hari. Wajah yang di negeri ini nasibnya tergolong payah dan seolah berarti satu hal saja: cerita duka melulu.
Kunjungan ke vihara itu tidak begitu saya nikmati. Selain karena matahari bersinar penuh semangat, saya pribadi memang merasa kurang nyaman jika memasuki tempat ibadah dengan pendekatan wisata.
Secara hukum, hal ini tentu saja legal. Namun, jika boleh memilih, saya lebih suka membiarkan orang-orang yang khusyuk beribadah itu tenang dengan diri dan Tuhannya saja, tanpa gangguan kehadiran orang seperti saya.
Apapun itu, mataharilah yang akhirnya keluar sebagai juara. Sinarnya yang membutakan membakar kepala. Dan di kepala kami semua, saat itu, hanya ada satu hal saja: es kopi or DIEEE!!!
Maka tepat tengah hari, kami semua bergegas kembali ke Gang Gloria, merebahkan pantat yang mulai penat di kedai kopi Tak Kie.
Disanalah semua menu dibuka. Menu penghabisan sebelum kami pulang ke rumah.
[caption id="attachment_141875" align="aligncenter" width="300" caption="Bebek panggang Sedap Wangi - foto by Icha"][/caption] Setengah ekor bebek panggang Sedap Wangi yang dibagi menjadi dua porsi tersaji. Dua piring ketupat Gang Gloria tak lupa dipesan. Ketupat ini, menurut hemat saya, adalah menu yang paling mahal di kelasnya.
[caption id="attachment_141877" align="aligncenter" width="300" caption="Ketupat Gang Gloria - foto by Icha"][/caption] Yang paling banyak dipesan, tentu saja, adalah es kopi dan es kopi susu. Saya pribadi lebih suka pilihan yang pertama. Berapa gelas yang akhirnya kami habiskan selama satu setengah jam lebih duduk disana? Sembilan belas!
Maka tak heran jika sorenya semua menulis hal yang sama di twitter, whatsapp, maupun facebook: badan lelah namun mata tidak bisa terpejam!
Bahkan sampai ketika saya selesai menulis pengalaman yang super menyenangkan ini, mata masih melek seperti maling. Namun detak jantung tak lagi berpacu, karena sudah saya turunkan dengan jus belimbing dan seliter lebih air putih.
Gang Gloria Petak Sembilan, kulinermu memang juara!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H