[caption id="attachment_137658" align="aligncenter" width="300" caption="Dialog Dini Hari (Photo by Bobo)"][/caption] Ya, betul sekali! Saya comot judul artikel ini mentah-mentah dari film fiksi ilmiah garapan sutradara beken, Steven Spielberg, di tahun 1977. Sebuah film tentang pertemuan manusia dengan kerabat jauhnya di semesta nan luas ini, alien.
Istilah “close encounter” pertama kali dikenalkan oleh astronom Amerika bernama Josef Allen Hynek (1910-1986). Dalam bukunya yang berjudul The UFO Experience: A Scientific Inquiry (1972), dia membagi “pertemuan” itu menjadi tiga tingkatan.
First kind: melihat UFO dari jarak 500 kaki atau kurang. Second kind: melihat UFO dan merasakan efek sampingnya seperti sengatan panas maupun kejutan listrik. Third kind: bertemu dengan sosok alien sesungguhnya!
Dan konser bertajuk “Kisah Pohon Tua dan Sang Air: an Acoustic Performance by Dialog Dini Hari (DDH)” di The Phoenix, Minggu malam, 23 Oktober 2011 yang lalu, bagi saya serta sekitar 100-an Sahabat Pagi (sebutan bagi fans DDH) asal Jakarta lainnya, menjadi peristiwa pertemuan tingkat ketiga, hahaha!
Terlambat satu jam dari jadual, konser akustik malam itu dibuka oleh kolaborasi Amar dan Egi (keduanya dari Besok Bubar), Ricky Respito, dan Vic Solidair.
Dua nomor kondang milik Soundgarden (“Fell On Black Days” dan “Sunshower”), “Hey Kawan” dari Solidair, serta tiga lagu asli Besok Bubar (“Dosa”, “Senjata Pemusnah Massal”, dan “Besok Mati”) jadi setlist mereka. Rangkaian lagu yang menonjolkan kemampuan vokal Vic yang aduhay dan aransemen akustik yang cukup mumpuni dari lagu-lagu Besok Bubar yang nuansa aslinya adalah grunge bercorak metal itu bergulir dengan apik.
Selama 30 menit lebih, suguhan itu terbukti mampu meredakan kegelisahan para Sahabat Pagi yang semakin tak sabar menanti kemunculan DDH di panggung.
Nyaris setengah sepuluh malam dan akhirnya DDH benar-benar hadir!
“Sahabatku Jadi Hantu” dipilih sebagai pembuka, dengan sentuhan khas berupa teriakan suku pedalaman dari Dankie. Teriakan yang pernah diserukannya dalam intro “Oksigen” di konser mini coffeewar, juga dalam intro “Society” di The Rock, saat dia berkolaborasi bersama Perfect Ten (PT) beberapa bulan lalu.
Semua senyap.
Inilah rupanya yang dijanjikan oleh Dankie tadi siang, ketika bersama saya, Arie PT, dan Saylow menyeruput kopi Toraja di bilangan Senopati, ditengah panasnya udara Jakarta. “Setlist Djaksphere kemarin berisi lagu-lagu ceria. Sentuhan mistisnya untuk konser malam nanti,” demikian ujarnya.
OK. Barangkali untuk momen seperti inilah nenek moyang kita menciptakan kemenyan dan menanam bunga melati.
“Tak Seperti yang Kau Bayangkan” mengikuti, dan kemudian mengalun “Renovasi Otak” yang lucu.
Audiens yang hadir malam itu dikejutkan dengan kemunculan “Little Wing” dalam cita rasa DDH. Lagu blues legendaris yang identik dengan kerumitan gitar itu mendadak jadi terdengar lebih manusiawi, sederhana, dan menyenangkan! Hilanglah semua nuansa gelap didalamnya.
“Aku Dimana”, nomor yang berasal dari album kedua DDH, yang klip videonya diambil di tengah pasar tradisional di Bali, meluncur apik.
Rumornya (tanpa konfirmasi dari sang pencipta lagu, tentu saja), lagu ini ditulis Dankie ketika merasa tersesat, saat tinggal di apartemen di Jakarta. Ah, rupanya Pohon Tua memang tak cocok dengan kepongahan beton-beton raksasa yang menjulang di penjuru kota jahanam ini.
Dhia, yang malam itu tampak jauh lebih sadar dibanding konser-konser biasanya, mendapat kehormatan untuk menyumbang suara di verse ketiga dari “Times They are A-Changin’”, lagu milik Bob Dylan yang akhir tahun 2010 lalu jadi tema dari perhelatan musik Pearl Jam Indonesia (PJId) bertajuk Acoustology II.
Berikutnya adalah rangkaian lagu yang melintasi garis waktu, dari album kedua, kembali ke album pertama, dan loncat ke materi terbaru yang, barangkali, akan masuk ke album ketiga: “Manuskrip Telaga” yang luar biasa indah, “Satu Cinta” yang manis, dan “Pohon Tua Bersandar” yang enak di telinga namun kabarnya membuat personil DDH, yang jelas berkemampuan musik diatas rata-rata musisi umumnya, mengernyitkan kening setiap kali memainkannya.
Sesi pertama dari konser akustik DDH malam itu selesai. Audiens kembali tersadar dan bergegas menghirup nafas yang sedari tadi tertahan. Ahhh...
Asap rokok menggantung di udara. Alkohol mulai lancar mengalir dari kerongkongan ke pembuluh darah. Bukan kerongkongan ataupun pembuluh darah saya, tentu saja, karena ini adalah konser kelima berturut-turut yang saya hadiri tanpa alkohol, dan semua rasanya baik-baik saja.
Kolaborasi Nito PT dan Dankie membuka sesi kedua konser akustik DDH malam itu. Kolaborasi yang sudah beberapa kali saya lihat, dan selalu enak untuk dinikmati.
“Off He Goes” menjadi pembuka. Nomor paling juara di album “No Code”, album yang membelah jutaan penggemar Pearl Jam (PJ) di seluruh dunia kedalam dua kelompok besar: kelompok yang mencintai PJ dan kelompok yang mencintai hype ciptaan taipan industri musik.
Dan kolaborasi singkat mereka malam itu ditutup dengan nomor magis yang membuat mata berkaca-kaca: “Man of The Hour”.
Cukup Dankie! Satu lagu lagi dan kami semua, para penggemar PJ yang hadir malam itu, bisa-bisa meleleh dan termehek-mehek seperti tokoh gadungan dalam acara televisi murahan.
Turunnya Nito PT dari panggung adalah hela nafas penghabisan. Hening sesaat. Sebuah jeda sebelum badai terakhir, yang paling ganas dari semuanya, menerjang.
Menjelang tengah malam, ketika semua mata dan jiwa terarah sepenuhnya ke panggung, badai itu benar-benar datang menghantam!
“Oksigen”, “ Aku adalah Kamu”, “Pagi”, dan “Hati-Hati” menjadi 20 menit terhebat malam itu! Dua puluh menit yang rasanya akan menancap di jiwa semua yang hadir di The Phoenix, selamanya...
Ketika berkunjung ke tempat menginap DDH pagi harinya, Emanz sang pemain keyboard sempat mengutarakan niatnya untuk menjadikan iPad sebagai salah satu alat musik utama dalam konser mereka malam itu. Saya dengan polosnya tersenyum, lebih karena rasa ingin tahu dibanding menghargai idenya itu.
Dan betapa kepala saya, juga barangkali kepala semua yang ada disana, meledak ketika dia menghajar iPad-nya dan memainkan solo di “Oksigen” selama dua menit penuh!
Lagu yang sudah demikian hebat di versi rekaman album pertama itu mendadak menjadi dua kali lebih panjang, dan berkali-kali lebih dahsyat!
“Aku adalah Kamu” menyurutkan kegilaan. Memberi kami semua kesempatan untuk kembali bernafas dan menyentuh realita. Bembeng, lagu ini khusus dimainkan untukmu, kawan. Kuatkan hati dan segeralah sembuh!
“Pagi” menjadi koor paling menyenangkan malam itu.
Rasanya tidak ada orang yang kenal DDH yang tidak bisa menyanyikan chorus lagu ini. Sebuah ungkapan perasaan yang benar-benar menggambarkan hati kami semua, Sahabat Pagi asal Jakarta, yang rasanya tidak rela konser ini berakhir dan DDH berlalu, kembali ke Bali.
“Pagi... Jangan pergi... Ku takut malam nanti ku masih sendiri... Dan pagimu tak lagi indah...”
Dan akhirnya, dengan sejuta penyesalan dalam jiwa, “Hati-hati”, yang juga menjadi nomor penutup di Djaksphere malam sebelumnya, menyudahi penampilan DDH.
Itulah rupanya ucapan selamat tinggal dari mereka, kumpulan musisi luar biasa asal Bali, yang kehebatan bermain musiknya hanya tertandingi oleh kerendahan hatinya. Perpaduan langka yang rasanya akan selalu diterima sebagai mata uang universal, dimana pun di seluruh dunia.
Dialog Dini Hari, selamat jalan kembali ke Bali. Jakarta, kota yang penuh luka dan dusta ini, selalu setia menanti...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H