Lihat ke Halaman Asli

Musik 2011: Cupumanik - Suara Rakyat Tidaklah Selalu Benar

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_113915" align="aligncenter" width="300" caption="Cupumanik"][/caption]

Suara rakyat adalah suara Tuhan. Bagi politisi negeri ini, itu tentu saja benar. Maka berbuatlah mereka segala macam kelakuan yang menegasikan Tuhan. Kenapa? Karena mereka adalah setan yang sejatinya memang tercipta untuk menentang Tuhan. Selamanya...

Suara rakyat adalah suara Tuhan. Ini juga benar dalam industri musik. Tak hanya disini, tapi di seantero jagat raya. Maka jadilah industri musik membuta mengikuti suara rakyat. Suara orang banyak. Karena suara orang banyak adalah uang. Dan bagi taipan industri musik, para penguasa sebenarnya dari kerajaan bunyi, uang adalah Tuhan!

Lupakan soal kualitas dan makna lagu! Lupakan soal pesona konser yang menginspirasi manusia!

Ini adalah eranya ketika babi menguik pun bisa menjadi bintang utama dalam sebuah mega konser di akhir tahun! Tentu saja, selama si babi menguik mengikuti suara rakyat.

Suara rakyat, dalam era digital yang hyperconnected ini, mengambil bentuk berupa vote. Alhasil, nasib musisi dan karyanya ditentukan oleh gerakan remeh dari jemari yang mengklik icon “vote!” di layar digital.

Seperti pemanjat tebing yang nasibnya terletak di ujung jemari, apakah ia berjaya di puncak tebing atau jatuh dan mati di jurang yang sunyi, begitu jugalah musisi hari ini. Hanya saja, bagi musisi, bukan jemarinya sendiri yang menentukan nasibnya, melainkan jemari dari jutaan orang lain yang tidak dia kenal.

Navicula adalah satu contoh paling mutakhir dari musisi yang mati dalam sunyinya jurang voting seperti itu.

Dalam Battle of The Bands yang digelar oleh Hard Rock Cafe tempo hari, keunggulan kualitas mereka atas Superman is Dead dan musisi-musisi hebat lainnya yang dikonfirmasi dewan juri menjadi tiada arti dihadapan popularitas Gugun Blues Shelter (GBS). Untung saja keduanya sudah lulus quality control dari dewan juri yang kredibel, sehingga ketika takdir voting memilih GBS sebagai yang terhebat di Indonesia, itu memang hasil yang terbaik. Kemenangan GBS ibarat harmoni antara kualitas dan popularitas yang berjalan beriringan.

Tapi, berapa banyak yang seperti itu? Saya khawatir, tidak banyak.

Sekarang Cupumanik, sebuah band grunge asal Bandung yang tengah menyusun materi album ke-2, memanjat tebing yang sama. Tebing licin dan keji bernama PlanetRox. Sebuah proyek raksasa yang bercita-cita memanggungkan band-band alternative music dari 15 negara berbeda di Kanada, tahun 2011 ini.

Atas nama musik berkualitas, saya memberikan vote kepada Cupumanik, setelah melihat beberapa video pesaingnya yang sama dipasang disini: http://www.envoletmacadam.com/en/planetrox/indonesia/vote-for-your-favorite-band-in-i/

Namun sejujurnya, saya sama sekali bukan fans dari sistem keji bernama voting seperti ini. Kenapa?

Voting, sistem yang digadang-gadang akan membesarkan musik ke seluruh dunia melalui kanal digital, menjadi bumerang. Secara keji voting akan membunuh musik dan ide baru, karena sistemnya didasarkan pada asas “tak kenal maka tak sayang”. Musik akan berhenti sebagai produk dan kehilangan kehebatannya yang sejati: sumber inspirasi.

Musik, setidaknya dimata saya, menjadi luar biasa memukau ketika ide dari seorang musisi yang paling tidak diperhitungkan pun ternyata bisa mengubah arah kebudayaan kita. Menjadi inspirasi bagi seluruh isi dunia. Bukan ketika ia berkompromi dan menguik seperti babi, mengikuti suara rakyat yang tak tentu benar salahnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline