Lihat ke Halaman Asli

Musik 2010: PJ Nite V - Men of The Hours

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_105387" align="aligncenter" width="300" caption="Man oh The Hour Interpretation - Davro"][/caption] "Ombak pasang yang tak kenal ampun... Menghantam dan kemudian pergi..." Itulah Dankie, yang bermain gitar seperti udara, datang dan pergi sesuka hati. Bersama Nito, Amar, Irsya, serta Dedot, dia menyengat kita semua dengan bisa sejuta nyamuk. Tanpa ragu menelan racun dan meledakkan paru-paru bersama Hasley. Dengan perkasa menderu laksana kereta kematian bersama JC si Penutur. Jika Profesor Yohanes Surya, penguasa Fisika yang asli orang Indonesia itu mendeklarasikan agama beraliran mestakung, tentulah saya tak akan ragu sedikitpun untuk menjadi pengikut pertamanya. Meski mungkin tidak akan menjadi yang paling setia. Betapa konsep Semesta Mendukung, yang mengajarkan penyelarasan antara niat, harapan, dan tindakan dengan kehendak semesta, sungguh pekat mewarnai perjalanan event PJId kali ini. "Pearl Jam Nite V: Do The GreenVolution!", yang merupakan perayaan V tahun bergulirnya PJId, telah berhasil digelar di MU Cafe, V Juni 2010 kemarin. Tema acara kali ini sedikit idealis namun usil, bersumber dari plesetan judul lagu Do The Evolution yang ada di album Yield, album ke-V Pearl Jam. Sebagai menu utama adalah V kumpulan musisi yang tidak main-main kecintaan dan penguasaannya atas karya-karya Pearl Jam: Mirrorball, Bittertone, Silentium, Dankie Project, dan Perfect Ten! Renungkanlah sejenak dan Anda mungkin akan terkejut mendapati kenyataan betapa dalam perjalanan hidup yang singkat ini, tertampung demikian banyak cerita penting yang seolah hanyalah serangkaian kebetulan belaka... Indonesia Consuminity Expo, Senayan, 22 November 2009. Seekor anjing gila naik ke panggung, merebut mik dari tangan Hasley, sebelum kemudian meloncat dari tiang setinggi 3 meter! Hingar-bingar Perfect Ten sekejap sirna dan semua mata memandang pada sosok besar yang terkekeh diantara rintik hujan. Reza! The Rock Cafe, Kemang, 23 Desember 2009. Gelombang raksasa bernama Perfect Ten, yang menghantam dengan 47 lagu Pearl Jam tanpa henti, meruntuhkan hati Ridha, gitaris handal yang sudah berpaling dari hingar-bingarnya konser rock setelah kematian GotID. Jadilah malam itu langkah pertama dari perjalanan tak tentu arah, mencari kepingan pelengkap bagi hasrat musiknya yang kembali menyala. Sabtu malam yang lalu, kita semua menyaksikan bagaimana dua kepingan tak berkaitan ini akhirnya saling melengkapi, bersama D-Iyan, Josa, dan Arif yang asli Bandung, dalam kumpulan anjing hilang berbendera Mirrorball. Lain kepingan, lain lagi ceritanya... Seperti halnya dalam perhelatan Acoustology, 4 Juli 2009 yang lalu, Nito selalu dinaungi berkah tersembunyi. Di tengah kebuntuan personil, Made si Jack Irons belia datang dan melengkapi perkumpulannya kala itu. Kali ini pun kumpulannya, yang sudah berisi Dankie, Irsya, Hasley, Dedot, dan JC, setali tiga uang. Mundurnya Pronky, karena ada keperluan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan, dua hari sebelum perhelatan PJ Nite V, meninggalkan lubang menganga di posisi pembetot bas! "Alam memiliki keteraturannya sendiri... Nyanyian penebus dosa dari tengah padang..." Dan demikianlah semesta bersabda. Angin keberuntungan mengirimkan Amar, si gila yang sangat berbakat, baik sebagai musisi, penghibur, maupun pemabuk, kepadanya untuk melengkapi kepingan terakhir dari kumpulan yang terbukti bukanlah sekelompok musisi, melainkan tukang sihir! Cukuplah bicara soal mestakung. Salah-salah nanti saya dituduh menyebarkan ajaran sesat. Mari bicara soal kegilaan tengah malam yang luar biasa menyenangkan itu. Semua bermula dengan hujan. Tumpahan air yang demikian dahsyat. Siraman berkah yang belakangan justru selalu kena sumpah serapah orang Jakarta. Tidak banyak yang bisa saya lakukan kecuali mengutuk dalam hati, ketika gelombang berkah itu mewujud menjadi gelombang kemacetan parah yang memisahkan Dankie, yang harus saya jemput, dengan sound check, yang sudah terlambat satu jam lebih. Sungguh saya tidak bisa, dan tidak berani, membayangkan bagaimana galau dan gelapnya perasaan semua personil yang sudah siap di MU Cafe. Sementara Dankie, dengan kearifannya yang baru saya pahami belakangan, ketika perhelatan ini usai, dengan santai bercerita kepada saya dan Desy soal nuansa spiritual dalam musiknya, bahkan melontarkan ide gila untuk membakar menyan saat nanti naik ke panggung! Pukul delapan lebih sedikit dan hujan mulai reda. Jarak tempuh, kesibukan profesional, kemacetan Metropolutan, juga dinginnya angin malam yang masih menyisakan butiran hujan, ternyata sama sekali tidak menyurutkan langkah jamily yang memang terkenal keras hati. Hilman dan istrinya datang dari Surabaya, setelah sebelumnya transit beberapa hari di Bandung. Dini, Hendry, Deni Wahyudi, dan banyak lagi yang lain, meluncur dari Bandung. Awang kabur sebentar dari kesibukan proyek di kantor barunya di Cikini. Semua yang hadir malam itu tentu punya ceritanya sendiri-sendiri. Irul, sang desainer poster resmi event ini, terpaksa mangkir, berhubung esok paginya harus menjalankan resepsi pernikahannya di Jawa Timur. Sebenarnya dia bisa memecahkan rekor perkawinan tersingkat milik Axl Rose, yang bertahan 48 jam saja, jika dia berani kabur dari resepsi dan menghadiri PJ Nite kali ini. Aksi ini tentu akan sangat cocok dengan nick name Facebook-nya, Roel Rock, meski tentu saja akan sekaligus menghancurkan cerita hidupnya kemudian. Davro, si gila yang bertanggung jawab atas coretan 10 spesies langka dan 1 animasi parah, juga terpaksa batal hadir. Bosnya yang sadis dengan murah hati mengirimnya ke Bali, satu malam sebelum PJ Nite V digelar, untuk mengikuti pertemuan penggiat iklan se-Asia Pasifik. Bro, apa mau dikata, takdir memang kejam! (Ngomong-ngomong, jadi beli Arak Bali gak?) Niken, cewek pecicilan yang belum lama bergabung dengan PJId, memenuhi janjinya untuk menyediakan 300 tusuk sate kambing jika tugas audit keuangannya di Sumbawa dibatalkan dan dia bisa hadir ke PJ Nite V. Mbeeekkk! Jadilah rombongan anjing hilang sore itu mengembik, alih-alih menggonggong dan menggigit! Lain cerita dengan Haikal. Pria sangar yang alcohol-neutral ini malah ketiban duren! Pekerjaan tambangnya di Australia dibatalkan dua hari menjelang PJ Nite V. Maka terbanglah dia layaknya Gatot Kaca, dari negeri Kangguru langsung ke Sarinah. Tak heran jika kemudian diapun terbang di atas kepala kami semua, saat Perfect Ten membahana. Membiarkan kami semua meringis menahan beban tubuhnya yang nyaris satu kuintal itu! Damn! "Pintu-pintu telah terbuka... Lonceng pun berdentang keras memanggil..." Mirrorball menyambut datangnya rombongan anjing hilang dengan lolongan dan salakan ganas. Tak tanggung-tanggung, (intro) Baba O’Riley disambung Go. Audiens yang sepertinya memang siap tempur sejak berangkat dari rumah, langsung melahap menu pembuka ini. Belum lagi intro Baba O’Riley kelar dimainkan, bibir panggung sudah sesak. Moshing pertama pun pecah saat Go bergema. Hajar! Kerusuhan berlanjut, lebih tepatnya membesar, saat Insignificance digandeng dengan theme song PJ Nite kali ini: Do The Evolution! Penampilan perdana mereka, yang boleh disebut sangat memuaskan, ditutup dengan rangkaian State of Love and Trust dan Rearviewmirror yang mendadak memiliki porsi lead guitar. Minat Ridha dan Josa terhadap metal tampaknya cukup kuat mewarnai aransemen mereka malam itu. Jika kumpul bocah dengan Boy Bittertone, Nito, dan Agan Egha yang juga kepala logam, kira-kira apa ya, yang akan terjadi? Biarlah Ridha dan Josa asyik-masyuk dengan seleranya. Biar juga Arif dan D-Iyan berjuang menjaga harmoni. Adalah Reza yang sungguh gila. Dengan nekat dia melakukan percobaan bunuh diri yang kedua, menyusul gagalnya upaya pertama di ICE, Senayan, November tahun lalu. Gubrak! Dan dia mendarat, tidak dengan mulus, di bagian panggung yang berada di sisi kanan audiens, setelah meloncat dari lantai 2 MU Cafe, ketika keempat rekannya sedang asyik dengan instrumennya masing-masing. Tinggallah Purnomo, yang malam itu menjadi kapten di lapangan tengah layaknya Stevie G, ternganga dan menggamit lengan saya. “Kita gak nyiapin asuransi buat cover gini-ginian, Ko!” Mirrorball, kalian memang menepati janji. You broke our balls! Setelah tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi teleconference Arman yang gila dengan Irul yang tidak bisa menjawab (karena memang sebenarnya itu adalah rekaman video belaka), semua disuguhi setlist terbaik malam itu. Bittertone! Tak kurang dari Aye Davanita yang menjadi pembuka. Dan semua pun segera paham bahwa Boy (yang sound check menggunakan seragam pilot layaknya Bruce Dickinson dalam Flight 666), Uwie (dengan rambut pirangnya yang mengingatkan saya pada...), Febbie, Ungke (yang menepati janjinya pada saya untuk datang ke PJ Nite V menggunakan sepeda lipat), dan Hafit, bukanlah anak kemaren sore, atau musisi yang mendadak dangdut memainkan Pearl Jam atas nama ketenaran. Mereka adalah jamily sejati, yang kebetulan juga orang-orang dengan bakat musik yang lebih dari sekedar memadai. Dari sudut pandang saya, yang kemampuan terbaiknya hanyalah tepuk tangan, ditambah dengan crowd surfing yang dilakukan dengan sangat bersusah-payah, sungguh mereka ini membuat iri! Selama satu jam lebih, mengalirlah setlist yang telah mereka latih selama 15 jam penuh itu. Dan, jika boleh memberi penilaian, 15 jam latihan yang mungkin lebih serius dari persiapan bom bunuh diri itu, latihan yang membuat Amar terpaksa menenggak setengah botol Arak Bali supaya tidak grogi ketika uji coba Corduroy, terbayar lunas! Evenflow langsung disambut crowd surfing pertama. Audiens di depan panggung bergejolak. Audiens di belakang, di sisi bar, di meja-meja nyaman, di sudut-sudut gelap cafe yang penuh terisi, berdiri dan bernyanyi. Mirrorball, yang sudah menanggalkan atribut performernya, bergabung menjadi audiens. Bersama berteriak, mengepalkan tangan, dan tentu saja, moshing. This is a fucking rock concert, dude! Adalah Vicky, jamily anggota PJId yang baru saja lulus SLTP, yang menjadi pelaku corwd surfing perdana. Dan dia, merasa badannya enteng seperti sehelai kertas, melakukannya berulang-ulang. Dasar anak edan! Habit menyusul. Dan semua tertawa gembira ketika Brother muncul. Lagu langka! Supersonic dan Alone, dalam aransemen yang sangat menarik, jadi menu selanjutnya. Disambung dengan kehadiran Amar yang ternyata mampu membawakan Corduroy dengan sangat meyakinkan. Hanya Tuhan, dan mungkin polisi, yang tahu apa yang dilakukannya untuk mampu seperti itu. Uwie merangkap tugas sebagai vokalis di Wishlist, membiarkan Hafit menikmati istirahatnya sebelum ledakan terakhir mereka. Dan rupanya masa rehat itu tambah panjang karena Reza Beku muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya, membawakan Love Boat Captain dan Amongst The Waves dengan apik. Sosoknya yang tinggi, tampangnya yang sejuk, gayanya yang kalem, dan suaranya yang berat serta mantap, tentulah membuat jamile (jamily dengan jenis kelamin perempuan – red) malam itu kesengsem. Saya sih, maaf saja, tidak tertarik! BTW, turut berduka atas meninggalnya partner-mu dalam Hunger Strike di BB’s beberapa tahun lalu, bro! World Wide Suicide, Alive, Last Exit, Spin The Black Circle, Green Disease, dan Save You menjadi rentetan amunisi penutup. Febbie, dengan ikat kepala dan lompatan a la rocker 90an-nya, benar-benar menikmati malam. Kurangi sedikit lingkar pinggang dan tambahkan wig pirang, maka kita semua akan melihat Eddie Van Halen yang cinta mampus kepada Eddie Vedder! "Tanda-tanda jalan yang berkarat... Ditinggalkan khusus untukku... Cinta, dia membimbingku dengan caranya sendiri..." Kegilaan malam, yang kian tak tertahankan, sejenak dipinggirkan. Panggung dikosongkan dan 3 buah kursi tinggi diletakkan disana. Saat perenungan telah tiba. Bukalah mata dan hati bagi Silentium, gerombolan kutu buku pecinta akustik, yang serentak akan mengucapkan satu kata, dan hanya satu kata, untuk ketidakadilan, apapun bentuknya: Lawan! Off He Goes, In My Tree, Hail Hail, Of The Girl, Smile, Garden, dan Lukin mereka suguhkan dalam bentuk akustik. Sungguh menjadi embun penyegar setelah nyaris dua jam penuh bergulat dengan crowd surfing dan moshing yang tak kunjung henti. Lagu pertama, jangan ditanya, itu favorit saya. Sungguh itu adalah mutiara dalam No Code, album bersejarah yang memisahkan jamily dengan penggemar musiman lainnya. Penuturan yang demikian indah mengenai sosok Neil Young, yang digadang-gadang sebagai bapak moyangnya grunge. Meski tentu saja, banyak sekali pihak yang tidak terlalu bahagia dengan teori ini. Dan, tentu saja, saya sama sekali tidak ambil pusing soal itu. Dalam pemahaman saya, Off He Goes adalah wujud dari kerinduan Eddie akan sosok seorang ayah yang tidak ia jumpai sejak remaja. Maha karya kerinduan yang luar biasa indah di telinga, juga di jiwa. Of The Girl? Lihat saja ekspresi wajah mereka yang ada di depan panggung. Sumringah! Ini adalah kali pertama lagu itu dilantunkan dalam perhelatan PJ Nite. Tanpa bermaksud menodai sosok serius Silentium, saya memberanikan diri mengucapkan ini: Cendol, gan! Garden, bagi saya, selalu bermakna magis. Maka, ketika Silentium menghembuskannya di panggung, ketika koor dari audiens (yang memang sudah berkumandang sejak Mirrorball menghantam) ditingkahi sayatan gitar melodi, saya larut bersama bait ini: “I don’t question, our existance... I just question, our modern needs...” Bersama Lukin, yang kembali disambut moshing gila-gilaan, Silentium menyerahkan jiwa kami semua, 300-an jamily yang malam itu berkesempatan hadir, dalam piring perak, kepada si Penyihir Putih dari Bali, Dankie... Amar membiarkan rambutnya yang seperti pohon beringin berkibar. Malam itu dia adalah Shiva yang menunggangi Nandi. Dewa Perusak yang menunggangi kerbau putih bernama Kegembiraan. Dialah yang merusak semua tatanan formalitas di tubuh Dankie Project yang memang baru berumur 3 jam sesi studio dan 20 menit sound check, dan bahkan hingga kini belum memiliki nama. Dengan kegembiraannya, dengan hasrat musiknya yang meluap seperti Gangga kala banjir, dia merekatkan semua kepingan luar biasa dalam tubuh proyek tak bernama itu. Dialah berkah dalam selubung petaka bagi Nito, Dankie, dan kita semua. Irsya, seperti biasa, tampil penuh tawa. Tebar pesona kiri-kanan. Dia adalah Lev Yashin, si Laba-Laba Hitam dari Rusia, yang menggebuk drum dengan delapan tangan dan kaki. Dengan semua bakat, dan terutama pengalamannya, dia bisa menjadi Jack Irons bagi Nito, dan disaat bersamaan menjadi Gembul bagi Dankie, meski saya tahu pasti bahwa Irsya tidak terlalu mencintai Jack Irons, dan jelas kekurangan puluhan kilo berat badan dibanding Gembul. Nito, dia adalah mutiara. Dan seperti mutiara, kegemilangannya dalam bermain gitar hanya dikalahkan oleh kerendahan hati dan kesederhanaannya. Bagi saya, sungguh sebuah berkah dapat mengenal sosoknya sebagai manusia. Bukan sebagai musisi, apalagi artis. Sementara Dankie, sebesar apapun cinta dan kekaguman saya pada dirinya, dia adalah misteri. Tak peduli berapa banyak waktu yang saya habiskan bersamanya, selamanya dia akan tetap menjadi teka-teki. Telaga yang terlalu dalam untuk diselami. Belantara rahasia yang rasanya terlalu menyeramkan untuk dijelajahi. Bagaimanapun, dia adalah Gandalf The White Wizard dalam hal bunyi. Dialah penguasa suara yang mampu membangunkan sosok lain dalam diri Nito, sosok gitaris luar biasa yang memang hanya akan terpanggil jika dipaksa keluar menembus batas yang ada. Maka matilah kita semua yang ada di bibir panggung manakala Dankie menyayat gitarnya, sementara Nito menghantam dengan satu chord solid, Irsya menggebuk drum laksana gunung runtuh, dan Amar mengayunkan ribuan ular dikepalanya mengikuti betotan bas yang seperti mencabik jiwa. Inilah kematian oleh bunyi. Kematian yang indah, karena setelah itu kita semua memasuki alam suara yang lain. Alam yang mungkin sebelumnya tak pernah kita ketahui keberadaannya. Tidak ada senyum dari keempat tukang sihir itu. Tidak ada gerakan di moshing pit maupun di bangku-bangku jauh di belakang sana. Udara terasa berat. Saya tidak yakin apakah saat itu saya menghela nafas. Lengkingan gitar menembus kabut asap rokok, menggetarkan gelas-gelas berisi alkohol yang berserakan di meja, memantul di dinding-dinding yang dipenuhi foto, menelusup kedalam kepala dan jiwa. Selamanya bersemayam disana. Semua berhenti sampai akhirnya Dedot menyanyikan verse pertama dan menyadarkan kita semua bahwa yang barusan menghantam adalah intro dari Red Mosquito. Bukan lagu langka, meski baru dimainkan dihadapan kita semua, oleh Nito, selama satu tahun terakhir ini. Lagu yang ternyata bisa terdengar, juga terasa, sangat berbeda. Seperti gagalnya foto-foto yang sudah beredar dalam mendeskripsikan proyek satu ini, penuturan dari saya juga sepertinya akan menemui kebuntuan. Saya tidak punya cukup kosa kata dan pengetahuan terkait bunyi untuk menggambarkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Apa yang sepenuhnya saya pahami adalah bahwa malam itu Dedot tampil luar biasa. Saya masih sempat melihat dia terduduk di sudut panggung, dibalik tirai dan bayangan ampli, dengan sedikit gemetar, setelah menumpahkan semua energinya di Red Mosquito. Barangkali, seperti halnya saya, dia perlu sedikit waktu untuk mencerna apa yang sudah terjadi. Hasley, seperti biasa, mengingatkan kita semua pada sosok Eddie, meski kali ini dia membawakan Crazy Mary yang sangat kalem. Jika Red Mosquito adalah pilihan Nito, Crazy Mary merupakan juara ke-3 polling jamily PJId untuk kategori cover song, maka Man of The Hour sepenuhnya milik Dankie. Lagu yang dipilih, dan kemudian dibawakan dengan sangat menyentuh, berdasarkan keindahan liriknya. “Nature has its own religion... Gospel from the land...” Sinting! Demikian Dankie mendeskripsikan lagu ini. Jika Red Mosquito, dengan sentuhan bunyi dari Dankie, memberi roh baru pada Nito, maka Indifference adalah persatuan gitar yang sangat mempesona dari keduanya. Dengan lihay Nito membuat gitarnya mendesum sepanjang lagu, sementara Dankie memberi hentakan dan sayatan yang seolah tak tentu datang dan perginya. Amar maupun Irsya larut dengan instrumennya masing-masing. Dan Hasley, dia menutup lagu mistis itu dengan teriakan yang sempurna. “I will scream my lungs out, ‘till it fills this room...!!!” Pencucian jiwa resmi selesai ketika JC dan Dedot bergabung bersama Hasley ke atas panggung untuk menghajar audiens dengan Sonic Reducer. Audiens menyambut gembira, sementara keempat penyihir kita saling berpandangan dan melempar senyum, menyadari bahwa mereka semua baru saja berlayar ke wilayah yang belum terpetakan. Wilayah yang menyimpan misteri. Wilayah yang bisa saja membawa cerita bahagia, atau bisa juga cerita duka. "Dan sang bintang utama pun membungkukkan badan, memberi penghormatan terakhir... Namun, saya merasa ini adalah perpisahan sementara saja..." Malam sudah menjelang pagi ketika Perfect Ten menghantam dengan kekuatan penuh. Tak kurang dari Nito, Irsya, Hasley, Dedot, Arie, Ino, Didit, Rony, Che, Olitz, Made, Pheps, Amar, dan satu drummer yang diperkenalkan Irsya sebagai teman lamanya, turun ke medan laga. Alhasil, kebakaran! Separuh Present Tense menjadi kedok belaka, karena berikutnya mereka langsung menghajar dengan Why Go dan Gonna See My Friend. Dua lagu beroktan tinggi yang disempurnakan oleh Hasley yang lompat kesana kemari. Sungguh mereka ini sama sekali tidak berminat menenangkan massa. Dasar biang rusuh! Dedot kembali naik panggung membawakan Johnny Guitar, nomor yang batal dibawakan di perhelatan PJ The Immortality yang digagas Komunitas ISI di Bandung, beberapa bulan lalu. Dan inilah dia, Ketua Panitia kita, party boy yang terkenal mulai dari Pantai Utara Cirebon hingga Pantai Utara Jakarta, yang sudah masuk KOMPAS, tabloid Kontan, juga berbagai radio dan website berita, yang punya cita rasa tinggi soal alkohol, namun sangat payah dalam memilih klub sepakbola idaman... Dhiaaa!!! Maka meluncurlah satu lagu super langka, yang sudah sejak lima tahun lalu diminta oleh jamily PJId untuk dibawakan dalam PJ Nite. Lagu yang rasanya tidak pernah lagi dimainkan oleh Pearl Jam sendiri, karena memang tidak kental bau Selai Mutiaranya. Dirty Frank! Dari sini, lepaslah semua kegilaan yang ada! Crowd surfing berlangsung tanpa henti. Mulai dari Hasley, Dedot, Irsya, Niken, Dhia, Nito, dan bahkan Haikal! Tiga yang terakhir ini, tak perlu kiranya dijelaskan lebih lanjut dampaknya pada audiens. Khusus untuk Nito, kegilaannya masih berlanjut dengan memainkan gitar di punggung. Dan seolah belum cukup, dia merasa perlu untuk menutup matanya! Sudah mas, saya sudah paham sejak dulu kok, bahwa saya itu memang tidak bakat main gitar, tidak perlu dipertegas dengan sirkusmu itu! Sejak awal, Perfect Ten memang terlahir dari hasrat yang luar biasa terhadap Pearl Jam. Ten hingga Backspacer mereka gilas. Lagu asli maupun cover mereka libas. Meminta lagu Pearl Jam kepada mereka, sesungguhnya, semudah memasukkan koin kedalam jukebox khusus Pearl Jam. Ketok palanya dan mereka akan memainkannya, hahaha! Persembahan lagu langka berlanjut dengan Deep. Satu-satunya lagu dalam album Ten yang dihindari sebagian besar musisi pecinta Pearl Jam, karena dengar-dengar lagu ini tidak nyaman untuk dibawakan. ‘Pa b’tul Pa’ Cik? Made duduk di belakang drum set menggantikan Irsya di Got Some. Episode bakar-bakaran tengah malam mereda dengan parade Sad, Given to Fly yang menghadirkan teman lama Irsya sebagai drummer, dan Mankind yang dinyanyikan Arie khusus untuk Dinar. Hah, untuk Dinar? Glorified G dan Light Years disusul oleh penampilan Che di tiga nomor berturut-turut, dengan I Got ID, Betterman, dan Black. Dalam kesempatan itu Olitz maju menggantikan Didit, sementara Rony menggantikan Arie. Pheps tak mau ketinggalan, ikut terjun ke panggung, berbagi verse dan chorus bersama Che di Betterman. Jelas bahwa mereka semua berada dalam satu frekuensi radio, Pearl Jam. Jam session dengan lagu dan posisi tak menentu seperti ini bukanlah beban, melainkan kesenangan yang dinantikan! Di penghujung penampilannya, Perfect Ten mendapat kunjungan dari Amar. Hanya saja, kali ini dia tidak hadir sebagai Shiva, melainkan sebagai Nandi, kerbau putih yang tabrak sana-sini. Breath, yang merupakan lagu dambaannya, yang kebetulan malah batal dimainkan bersama Che, disikat. Porch, yang merupakan trade mark Perfect Ten, dimana Hasley biasanya ganti baju dan kemudian terjun ke pelukan audiens, memaksanya mental keluar panggung. Dasar gila, dia kembali ketika Nito menghantam gitarnya dengan garukan tangan 360 derajat layaknya Pete Townshend, yang kebetulan saat itu sedang ditampilkan oleh Ipab di layar multi-media, mengawali Perfect Ten memainkan Baba O’Riley. Apa yang terjadi kemudian adalah kegembiraan yang merembes kemana-mana, kecuali ke hati Purnomo yang uring-uringan mendapati setlist panduannya sebentar lagi akan diporakporandakan oleh gerombolan edan ini. Dan benarlah! Tanpa ba-bi-bu, Nito langsung meluncur dengan intro Rocking in The Free World. Memaksa Ino yang sudah siap-siap turun panggung untuk kembali beraksi. Kekacauan yang menyenangkan itu berlanjut dengan Hunger Strike. Adalah kesalahan Hasley yang memanggil si kerbau gila naik kembali ke panggung. Separuh Hunger Strike, dengan santai Amar menendang Irsya keluar dari singgasananya. Dan ketika salah satu audiens menjadi cukup gila untuk meminta Jeremy dimainkan sebagai pamungkas, giliran Ino yang dipecat dari posisi pembetot bas, kemudian dipaksa kembali ke habitat aslinya, di belakang drum! Irsya? Dia sih bahagia sekali bisa menendang Hasley serta Dedot dan memonopoli mik untuk meneriakkan bait favoritnya: “Jeremy spoke in class today...!” Dan itulah yang akhirnya merangkum petualangan bunyi yang luar biasa malam itu. Rangkaian ketidaksengajaan yang seolah memang sudah seharusnya terjadi. Mulai dari masuknya Desi menjadi panitia acara, yang kemudian ternyata menjadi bagian cerita tak terpisahkan dari perjalanan hidup Dankie, hingga bokeknya si Boy yang membuat dia terpaksa membawa mobil Eropa mewahnya dalam rangka menghemat ongkos metro mini, sehingga malah kemudian berkesempatan menjadi supir dibawah umur untuk antar-jemput Dankie ke bandara. Kepingan-kepingan itu, dan banyak lagi yang lainnya, seolah jatuh sendiri-sendiri secara kebetulan dan tidak saling terkait. Namun, disadari ataupun tidak, pada akhirnya semua kepingan itu tersusun dan membentuk sebuah lukisan kehidupan yang sangat indah, PJId... Itulah kisah sekumpulan orang-orang sederhana, pengukir jam-jam penuh cinta dan sarat kenangan, yang akan kita ingat, juga rindukan, selamanya. Dan bagi mereka, saya sematkan penghormatan ini: Men of The Hours... "Dan langitpun merekah kala pagi menjelang... Menyiramkan sinarnya pada kota ini... Dan semuanya akan baik-baik saja... Karena perpisahan ini hanya sementara..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline