Lihat ke Halaman Asli

Musik 2009: Grunge Fair - A Fight to Get It Back Again!

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Muse, dalam album terbarunya, merangkum semangat tahun ini dengan brilian: perlawanan! Penegakan hukum sudah demikian payah. Keadilan menghilang dari negeri ini. Kita, rakyat jelata yang senantiasa dijadikan keset butut, yang hanya dijenguk ketika pemilu, untuk kemudian diinjak-injak selama lima tahun berikutnya, sudah saatnya bangkit dan melawan!

Dan semalam, Carburator Springs di bilangan Veteran menjadi saksi sebuah perlawanan. Perlawanan yang boleh dibilang nekat, dari ratusan orang yang merindukan kembalinya sebuah genre musik yang tenggelam bersama kematian para dewanya. Grunge.

Ratusan orang adalah upil menjijikkan dihadapan jutaan audiens musik negeri ini. Sama sekali tidak signifikan. Namun demikian, riak yang terjadi malam itu laksana sebuah simbol. Simbol pergerakan arus bawah, yang sepanjang sejarah terbukti selalu menghentak dan mengejutkan. Dan layaknya simbol, yang dipuja sepenuh hati oleh Dan Brown dalam buku-buku kontroversialnya, ia tak akan pernah mati. Selamanya.

Setengah sepuluh malam. Sidharta, band asal Semarang, menghentak panggung dengan lagu-lagu karya mereka sendiri dan sebuah cover milik The Doors, Break On Through (To The Other Side).

Di sudut-sudut yang gelap, dimana kaum kucel (meminjam istilah Che) duduk dengan nyaman, bisikan mengeras menjadi permintaan yang mendesak: Navicula! Navicula! Navicula!

Grunge Fair, yang merupakan kali pertama, ini dimulai sejak siang hari. Berbagai band dari berbagai wilayah tampil silih berganti. Ada Sidharta dari Semarang, Mushafear dari Sukabumi, Revenge The Painful, Bolong, Alien Sick, dan Besok Bubar dari Jakarta, Zu dari Bandung, Navicula dari pulau dewata, Bali, dan masih banyak lagi. Entah berapa banyak, dan berapa bagus, saya tidak tahu. Yang saya tahu ini adalah pertunjukan yang saya nanti. Sisanya, lihat nanti!

Untuk satu hari penuh, Carburator Springs, yang sejatinya adalah wilayah kekuasaan anak-anak moge, dijajah oleh kaum kucel. Tua, muda, pria, wanita, keren, kumal, jelek, ganteng, cantik, seksi, semua tumpah jadi satu.

Mereka duduk di sudut-sudut temaram. Tertawa bersama sahabat lama dan baru. Menikmati penampilan band favorit mereka. Dan, tentu saja, berfoto layaknya orang gila, menyalurkan semangat narsis yang memang kian hari kian menjadi.

Jakarta, Bekasi, Depok, Bogor, Sukabumi, Bandung, Purwokerto, Semarang, Malang, dan Bali adalah tempat mereka berasal.

Tidak semua punya cukup uang, memang. Juga tidak semua punya tempat bermalam yang nyaman. Namun hari itu terlalu indah untuk diisi gerutu dan keluh kesah. Semua tertawa dalam bahagia. Karena, sebagaimana dinyanyikan oleh Robi sebagai penutup malam itu, menyadur tembang Iwan Fals yang dimainkan dalam warna grunge, “Hey, sahabat yang terbuang... Engkau sahabatku... Tetap sahabatku...”

Hari ini adalah harinya kaum kucel. Penikmat musik yang terbuang dari peta industri. Tergusur oleh roda jaman yang memang selalu berganti arah. Luluh lantak digilas keinginan korporasi yang kian tak punya nurani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline