Lihat ke Halaman Asli

Saminisme dalam Refleksi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

ABSTRAK

Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Indonesia dimulai sejak Belanda melalui Daendels menerapkan reforestasi yang sifatnya sentralistikterbagi ke beberapa unit pengelolaan hingga Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat. Permasalahan yang mendasar dari setiap kebijakan pengelolaan sumber daya hutan adalah kesenjangan komunikasi antara masyarakat sekitar hutan dengan otoritas pengelola.

Saminisme merupakan resistensi pionir terhadap kebijakan yang membelenggu kegiatan penghidupan sehari-hari komunitas masyarakat petani desa sekitar hutan. Dari slogan saminis “wong sikep mengerti apa yang menjadi miliknya” dapat diperoleh pemahaman bahwa pendekatan kesejahteraan, pengkajian terhadap kearifan lokal serta proses mediasi dalam pengelolaan sumber daya hutan sangat diperlukan.

Kata kunci : Saminisme, Wong Sikep, Pengelolaan Sumber Daya Hutan

PENDAHULUAN

Pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan pertama kali melalui kebijakan adalah dengan diterapkannya reforestasi bersifat sentralistik terbagi ke beberapa unit pengelolaan oleh Gubernur Jenderal Daendels. Hal ini dipicu oleh penebangan hutan secara intensif dalam skala besar untuk pemenuhan industri-industri pembuatan kapal. Untuk menjamin pelaksanaan pekerjaan di lapangan kawasan hutan dibagi menjadi beberapa unit pengelolaan. Pada setiap unit pengelolaan dilakukan pembuatan petak-petak serta batas-batasnya. Penetapan kawasan hutan yang terjadi secara tiba-tiba ini ternyata dirasakan oleh seorang Samin Surosentiko pada sekitar tahun 1890, dimana dengan pengaruhnya dia menguatkan ide bahwa kehidupan telah menjadi aneh, Belanda semakin banyak mengubah struktur kehidupan sehari-hari dalam suatu proses yang menyebabkan banyak kesulitan dan penderitaan bagi petani, terutama pemilik tanah di kawasan hutan. Gerakan perlawanan inilah yang untuk selanjutnya disebut dengan Saminisme.

Pembuatan makalah ini ditujukan untuk mengambil alternatif pemecahan masalah kesenjangan komunikasi antara masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dengan otoritas pengelola kawasan hutan.

PEMBAHASAN

Pada awal abad 19, ketika Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1808, kerusakan hutan jati sudah dianggap membahayakan kepentingan industri kapal. Misi utama yang diberikan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Daendels memang untuk memperbaiki pengelolaan hutan jati di Jawa agar bahan baku yang diperlukan oleh industri kapal tetap terjamin (Peluso 2006). Tindakan pertama yang dilakukan Daendels untuk melaksanakan misi tersebut adalah membuat peraturan-peraturan yang cukup drastis untuk menghentikan terjadinya proses kerusakan hutan. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Daendels ini merupakan cikal bakal pembentukan organisasi kehutanan modern di Indonesia, yaitu dengan didirikannya Dinas Kehutanan untuk Jawa dan Madura (Soepardi 1974 dalam Simon 1993).

Penerapan kebijakan yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal Daendels ternyata memicu resistensi dari seorang Samin Surosentiko beserta pengikutnya. Perlawanan yang bersifat nirkekerasan dilakukan terhadap pelanggaran oleh pemerintah kolonial atas nilai-nilai yang hidup di kalangan petani yang berpusat pada akses hutan dan pertanian. Inti masalah yang terjadi sesungguhnya adalah kesenjangan komunikasi antara masyarakat sekitar hutan dengan otoritas pengelola sumber daya hutan.

Menurut antropolog Amrih Widodo dalam Idhom 2009, saminisme merupakan fenomena gerakan petani yang tertua di Asia Tenggara yang oleh banyak sejarawan disebut proto-nasionalisme. Di bawah pimpinan pendirinya, Samin Surosentiko, komunitas ini sejak awal menegaskan tidak tunduk terhadap kekuasaan/otoritas manapun sejak banyak terjadi ekses negatif pada petani akibat kebijakan pengelolaan hutan yang dikeluarkanpemerintah kolonial Belanda. Mereka memboikot aturan kolonial dengan menolak mengikuti program tanam paksa dan membayar pajak serta perlawanan lainnya. Komunitas ini berkembang meluas dalam sejarahnya dari Blora hingga ke daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah lainnya.

Wong Sikep atau yang lebih dikenal dengan Sedulur Sikep dari bahasa Jawa berarti Saudara Sikep adalah kelompok masyarakat yang berusaha menjalankan kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Samin. Salah satu slogan Saminis yang terkenal adalah “wong sikep mengerti apa yang menjadi miliknya”. Makna dari slogan tersebut adalah klaim akan akses hutan dan lahan untuk pertanian sebagai wujud resistensi atas kebijakan pengelolaan hutan dari pemerintah kolonial Belanda.

Slogan yang terkesan ringan tersebut memiliki arti yang sangat krusial bagi banyak orang dalam komunitas pedesaan. Karena apa yang mati-matian berusaha dipertahankan masyarakat ketika itu adalah tidak berubahnya legalitas akses mereka akan hutan, mereka yang paling miskin kehilangan mobilitas yang pernah mereka miliki. Yang terjadi kemudian adalah semua kelompok penduduk pedesaan meneruskan mengambil dan menggunakan jati dan kayu lain dari hutan, seperti ditunjukkan dalam statistik pencurian hutan pada tahun 1905 sekitar 45.000 orang ditahan karena kejahatan hutan, kebanyakan berupa pencurian kayu (Benda dan Castles 1969 dalam Peluso 2006).

Belanda kemudian mengambil tindakan dengan mengasingkan Samin dan beberapa pengikut terpentingnya sebagai unsur subversif dengan maksud pergerakan Samin dapat dihancurkan. Akan tetapi yang terjadi komunitas Saminis masih dapat diketemukan dan upaya Pemerintah kolonial tersebut mengalami kegagalan. Pada tahun 1918, seorang asisten resisten dikirim untuk melaporkan keadaan kaum Samin dan membuat rekomendasi untuk membina hubungan pemerintah dengan mereka. Dalam laporannya, disebutkan tentang buruknya komunikasi antara rimbawan dengan komunitas Saminis yang sebenarnya telah berlangsung lama antara orang dalam (kaum Saminis) dan orang luar (pemerintah kolonial) yang menghendaki hal-hal yang berbeda dari hutan. Sekitar enam puluh tahun kemudian, para peneliti untuk Perusahaan Kehutanan Negara Indonesia mengidentifikasikan masalah-masalah yang sama dan terus bertahan serta membuat rekomendasi untuk memperbaiki hubungan antara rimbawan dan penduduk desa kawasan hutan.

Menurut Prof. R. Kranenburg dalam teori welfare state (kesejahteraan negara) menyatakan bahwa negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.

Menurut Allmendingr dalam pemikiran post positivist menerangkan bahwa pengetahuan lokal juga dijadikan sebagai salah satu kontributor dalam Indigenous Planning Theory, yang tentunya memerlukan Social Scientific Philosophy dan Social Theory yang memadai sebagai bagian dari kerangka teoritis dalam perencanaan. Potensi untuk mengaplikasikan pengetahuan lingkungan secara tradisional merupakan pengetahuan sederhana, tapi sangat banyak. Harus menjadi penyeimbang bagi pengembangan teknik, bentuk, dan penelitian biological, dinamisasi masyarakat, sifat polusi dan kerusakan lingkungan sebelum keputusan akan diambil.

Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Dari definisi tersebut, mediator dianggap sebagai “kendaraan” bagi para pihak untuk berkomunikasi. Mediator tidak akan ikut campur dalam menghasilkan putusan. Oleh sebab itu dapat diduga bahwa putusan yang dihasilkan melalui mediasi akan permanen dan menyenangkan pihak-pihak yang telah mengakhiri sengketa.

PENUTUP

Saminisme merupakan bentuk resistensi pioner terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya hutan pada tahun 1890, dimana dengan slogan “wong sikep mengerti apa yang menjadi miliknya” mereka menentang otoritas pengelola atas klaim akses ke dalam kawasan hutan. Kesenjangan komunikasi antara orang dalam (Saminis) dengan orang luar (pemerintah kolonial) berlangsung lama yang menghendaki hal-hal dari hutan dengan menggunakan persepsi masing-masing. Masyarakat desa sekitar atau di dalam kawasan hutan tidak dapat dilarang dengan menggunakan aturan-aturan yang bersifat mengamputasi akses mereka terhadap hutan akan tetapi pendekatan kesejahteraan yang bersifat mengurangi ketergantungan mereka terhadap kawasan hutan. Pengkajian terhadap kearifan lokal harus selalu digali sehingga pemahaman akan karakteristik pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat dapat menemukan bentuk terbaiknya. Apabila terjadi kesenjangan komunikasi antara masyarakat sekitar hutan dan otoritas pengelola kawasan hutan maka keduanya dapat didudukkan bersama dengan dibantu oleh pihak ketiga yang memiliki kompetensi dalam memediasi kesenjangan tersebut.

REFERENSI

Idhom, Adi Mawahibun. Resistensi Komunitas Sedulur Sikep terhadap Rencana Pembangunan Tambang Semen di Pegunungan Kendeng, Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Skripsi UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2009

Peluso, Nancy Lee. Hutan Kaya, Rakyat Melarat : Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa. Konphalindo. Jakarta. 2006

Simon, Hasanu. Hutan Jati dan Kemakmuran : Problematika dan Strategi Pemecahannya. Aditya Media. Yogyakarta. 1993




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline