Menjadi Indonesia, adalah proses yang panjang, bukanlah sejurus waktu. Namun melampaui ruang dan waktu, dalam proses Keindonesiaan menjadi.
Para arkeolog dan sejarawan, sudah banyak menyodorkan data dan mengurai bagaimana menjadi Indonesia adalah melalui serangkaian perjumpaan silang budaya dan dinamika peradaban dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman.
Arkeologi, bicara tentang akar-akar peradaban, hingga munculnya organisasi sosial masyarakat termasuk dalam soal kepercayaan atas kekuatan di luar dirinya (manusia).
Sejarah agama, bahkan agama yang paling tua, yakni agama yang dipraktekkan leluhur nenek moyang, sebelum mengenal agama samawi seperti sekarang ini.
Praktek keagamaan yang sangat purba itu dalam kacamata arkeologi tentu dibuktikan material kulturnya untuk melihat jejak-jejak praktek ritual keagamaan.
Dalam kacamata ini, maka praktek ritual keagamaan adalah bagian dari kebudayaan. Artinya agama adalah bagian dari proses budaya dan peradaban. Oleh karenanya agama tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan para penganut agama.
Lantas, apa perbincangan yang penting dalam soal ini? Tak lain adalah soal akar-akar moderasi beragama dalam proses Keindonesiaan.
Sebelum mengenal agama yang dianut sekarang, masyarakat nusantara masa lampau, sudah mengenal kepercayaan terhadap kekuatan transendental, kekuatan diluar dirinya, sehingga lahirlah tradisi-tradisi ritual sebagaimana arkeolog menyebutnya tradisi megalitik
Zaman berganti, lalu masyarakat Nusantara pada awalnya sekitar abad ke-3 menganut kepercayaan animisme dan dinamis, kemudian belajar dan masuk agama Hindu-Buddha.