Akhir-akhir ini di Kompasiana seperti menjadi ajang debat ego. Masing-masing mempertahankan kebenaran dengan cara pandangnya sendiri-sendiri, dan tergiring kepada ego intelektualnya sendiri saja.
Tidak salah. Sama sekali tidak salah. Dengan kecerdasannya, masing-masing Kompasianer punya cara pandang sendiri dalam melihat kebenaran.
Tidak ada kebenaran absolut di dunia ini, semua tergantung bagaimana kita melihat kebenaran itu sendiri.Apa yang kita pikirkan, kita tulis. Benar, semua pikiran kalau kita tuangkan ke dalam tulisan bisa mengubah dunia.
Tapi tentu kita harus pikirkan, bahwa menulis itu untuk mencerahkan, menenangkan dan seperti obat terapi. Menulis tidak hanya memerlukan kecerdasan intelektual, atau bahasa lainnya, otak saja. Tapi menulis juga butuh komitmen, butuh kejernihan hati.
Saya pernah menuliskan di artikel K sebelumnya, karena kita ingin mengabarkan kepada dunia, apa yang kita alami, kita rasakan, kita lihat dan kita pikirkan. Atau kita berpikir dunia harus tahu apa yang kita lihat, kita alami dan kita pikirkan. Pengalaman itu, akan melahirkan kepekaan atau sense.
Tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu menggugah, menginspirasi dan juga mengajak pembaca untuk memahami lingkungan dan kondisi di luar dirinya. Oleh karenanya menulis juga memerlukan empati. Menulis karena ada dorongan kepekaan.
Ada sense of humanism di dalamnya. Menulis, apapun topik, tema, subyek dan obyeknya, selalu saja tidak bisa lepas dari topik kemanusiaan. Karena semua yang kita tulis, tidak bebas nilai.
Selalu ada value, nilai dan norma terkait eksistensi manusia. Coba, sebut satu saja topik tulisan yang tidak terkait soal kemanusiaan. Satu saja. Ada?
Bahkan menulis yang paling binatang sekalipun, ada nilai kemanusiaan terkait di dalamnya. Kenapa, karena selalu saja, manusialah obyek dan subyek di setiap topik kehidupan.
Seseorang menulis tentang banjir misalnya, karena ada kepekaan, ada empati, merasakan keprihatinan tentang penderitaan yang dirasakan para korban banjir. Itu salah satu contoh kecil saja.