Bekerja dengan rasa cinta, berarti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan. Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu? Bekerja dengan cinta bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak
(Khalil Gibran)
Rasa, sudah jelas bagian dari karya, sebagaimana juga seorang pujangga termasyur dunia, Khalil Gibran dari untaian kata puitisnya pernah mengatakan sebagaimana halnya yang saya kutip di atas.
Namun, rasa bagian kecil saja dari proses berkarya. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sudah memperkenalkan tiga konsep falsafah hidup yang dikenal dengan Tridaya, yaitu Cipta, Rasa, dan Karsa. Tridaya juga dikenal sebagai Trisakti Jiwa pendidikan.
Tiga kekuatan karakter pendidikan yakni yang terdiri dari: (1) pikiran dan imajinasi atau juga dikenal dengan cipta, (2) rasa/perasaan, dan (3) kehendak atau karsa. Ketiganya dikenal dengan istilah Tri Sakti Jiwa.
Dari tiga kekuatan atau kesaktian jiwa itulah, muaranya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai karya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karya, dapat diartikan sebagai hasil sebuah usaha, upaya, perbuatan atau ciptaan.
Jadi karya lahir dari pikiran dan imajinasi atau cipta, rasa atau perasaan dan juga karsa atau kehendak. Sesungguhnya karya sebenarnya tidak hanya lahir dari rasa atau perasaan saja, tetapi juga pikiran dan kehendak. Jadi bisa dibilang, cipta, rasa, karsa dan karya tidak bisa dipisahkan, dan saya sebut sebagai catur daya.
Ya, rasa itu berhubungan dengan cinta. Jadi sebuah karya hanya bisa dihasilkan jika ada rasa cinta. Bagi saya pribadi, karya tidak akan dihasilkan jika ada rasa kegalauan, jika ada kebencian, jika ada nestapa, jika ada derita dalam batin kita.
Sebab karya yang dihasilkan dari sebuah derita, nestapa, benci dan kegalauan batin, tidak bisa disebut karya. Ia hanyalah ungkapan rasa, yang jauh dari makna karya, yakni hasil sebuah upaya, usaha atau ciptaan yang lahir karena pikiran, perasaaan dan kehendak.
Tetapi bukan berarti segala rasa dari kegalauan, derita, nestapa berhenti begitu saja, hanya sampai di titik derita. Ia akan menjadi rasa untuk menghasilkan karya, jika telah diolah atau dikelola.
Oleh karena itu mengolah atau mengelola rasa, adalah juga kehendak mengelola keputusasaan menjadi cita-cita, rasa yang negatif menjadi positif. Dari sinilah sebuah karya baru bisa mengalir.