Lihat ke Halaman Asli

Wuri Handoko

TERVERIFIKASI

Peneliti dan Penikmat Kopi

Nostalgia yang Sakral, Saat Obor-Obor Menyalakan Desa di Malam Seribu Bulan

Diperbarui: 21 April 2021   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pawai Obor. Sumber: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Tiga puluh lima tahun lalu, ketika usia saya baru beranjak sepuluh tahun, ingatan Ramadhan di masa lalu adalah ketika kami kecil berkeliling desa membawa dan menyalakan obor. Kami melakukan karnaval atau pawai obor. Entah saat ini masih berlangsung atau tidak. 

Yang jelas, pawai obor, keliling desa di malam dua puluh tujuh ramadhan atau kemudian dikenal sebagai malam pitu likur atau malam lailatur qadar adalah suatu peristiwa yang tak lekang dimakan zaman. Kegembiaraan larut dalam pawai obor, seperti ingatan tentang masa lalu yang sangat syahdu dan sakral. 

Obor-obor membuat desa kami yang saat itu belum ada listrik menjadi terang benderang. Obor-obor seperti sedang menyalakan desa, obor-obor membuat desa terang benderang, seperti desa yang dipayungi bulan purnama, ketika itu. 

Anak-anak kecil berbaris memenuhi jalan desa. Mereka membawa obor setiap orang satu. Lalu dengan berbaris rapi dan berjalan perlahan sambil membawa obor, mereka melantunkan shalawat dan puji-pujian. Beberapa orang yang lebih dewasa menabuh rebana, sebagian ada pula yang memukul gong dan kentongan. 

Suara riuh rendah terdengar di jalanan desa yang ramai dan terang benderang oleh pawai obor itu. Obor-obor menyalakan desa, membuat desa menjadi terang benderang, seperti dipayuni purnama, ketika itu. 

Ya, pawai obor itu sebenarnya bagian dari ritual, namun saya kecil tak paham soal itu, tak paham soal bahwa pawai obor itu sebagai bagian ritual desa menyambut malam lailatul qadar, atau yang kemudian setelah saya beranjak dewasa, lebih mengenal dengan sebutan malam pitu likur. Ritual yang skaral, kata orang-orang desa saya yang lebih dewasa dari saya, saat itu. 

Ritual pitu likur pada malam tanggal 27 Ramadhan, adalah ritual sakral di desa kami, saat bulan puasa. Memang malam itu adalah malam-malam terakhir ramadhan, sebelum menyambut lebaran idul fitri. Namun, semalam yang terang benderang di desa kami itu, seperti momentum langka yang tak mudah dilupakan. 

Pawai Obor di malam lailatul qadar. Sumber: koranmalut.co.id

Nostalgia ramadhan yang benar-benar melekat pada jiwa-jiwa anak-anak kami masa itu, sehingga hingga sekarang ingatan itu selalu hidup. Ya, malam pitu likur, malam sakral yang diagungkan di bulan penuh berkah, bulan suci ramadhan. 

Entah apa hubungannya antara malam suci lailatul qadar di malam ke dua puluh tujuh ramadhan itu dengan arak-arakan atau pawai obor. Namun ketika itu kami kecil, hanya tahu bahwa pawai obor adalah wujud rasa syukur dan gembira bahwa kemenangan yang sebentar lagi tiba, yakni hari raya idul fitri. 

Selain itu, kami tahu bahwa untuk menyiapkan obor jumlahnya ratusan buah itu, yang tampak memadati jalanan desa di malam itu, pasti ada proses awal, usaha yang serius dari para orang tua kami atau kakak-kakak kami. 

Pagi-pagi benar, matahari belum menampakkan diri sepenuhnya, udara dingin dan segar, penduduk sudah sibuk pada pagi buta itu. Tampak beberapa pemuda, keluar dari rumah, membawa parang dan seutas tali, dililitkan di pinggang juga digantung di pundak. Mereka tampak semangat, beberapa orang tua mengiringi langkah mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline