Kepulauan Sangihe-Talaud, adalah kawasan kepulauan terluar di wilayah Provinsi Sulawesi Utara, yang kaya akan nilai penting budaya. Setelah beberapa kali saya mengulas tentang Kepulauan Talaud, kali ini saya akan mengulas tentang potensi budaya terutama sumberdaya arkeologi di kawasan Kepulauan Sangihe.
Sangihe, adalah satu dari sekian ratus gugus pulau yang membentuk dan menjadi bagian atau wilayah administratif Provinsi Sulawesi Utara.
Kawasan pulau yang cukup mendebarkan, karena banyaknya gunung api yang masih aktif termasuk gunung api bawah laut. Kondisi ini sekaligus juga membuat tanah subur, untuk tumbuhnya berbagai tanaman dan budidaya pertanian lainnya.
Demikian pula Sangihe, meskipun daratan Pulau Sangihe tak begitu luas, namun keberadaan Sangihe sebagai salah satu kawasan terluar Sulawesi Utara, khususnya dan Indonesia umumnya, adalah juga penopang yang penting bagi tumbuh kembangnya perekonomian di Sulawesi Utara.
Tak hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah kekayaan potensi sumberdaya budaya, juga arkeologi sebagai kekayaan yang menyematkan di dalamnya soal karakter dan jati diri bangsa.
Catatan-catatan penting tentang hasil penelitian arkeologi, diantaranya saya peroleh dari laporan staf peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Utara, Wiwik Sriwigati, yang cukup intens meneliti Kepulauan Sangihe.
Kepulauan Sangihe merupakan jembatan penghubung migrasi manusia dan juga fauna, antara wilayah daratan Asia, khususnya Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik. Tentu saja, jika menjadi jembatan penghubung migrasi manusia, turut serta adalah transmisi kebudayaannya.
Bukti-bukti migrasi fauna, misalnya adanya temuan fosil gajah, juga fosil binatang mamalia besar lainnya. Hal ini menjadi bukti, pernah suatu ketika di masa purba dahulu kala, Sangihe, menjadi perlintasan gajah purba, mamalia yang kini tidak akan pernah ditemukan di daratan Sulawesi.
Salah satu sequen budaya yang menarik dan penting di Sangihe, tampaknya justru ditunjukkan pada masa jauh sesudah migrasi manusia dan fauna untuk pertama kalinya di wilayah Kepulauan Sangihe, yang bisa jadi berlangsung pada puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu tahun lalu. Meskipun beberapa bukti penanggalan tertua, belum diperoleh.
Namun, sequen episode megalitik, tentu dapat kita perkirakan antara 3000-2000 tahun yang lalu, jika merujuk temuan di Kepulauan Talaud, tentang jejak awal migrasi Austronesia, 3500 tahun lalu. Masa megalitik, tentu episode dan kurun waktu sesudahnya.
Bukti-bukti budaya prasejarah, peradaban megalitik yang ditemukan antara lain, sebaran dolmen di sepanjang pantai, Panalualeng, Kalinda, Pananaru, Dagho dan Lapango. Hingga kini penelusuran jejak-jejak megalitik masih terus berlangsung.
Dari catatan lapangan hasil penelitian Balai Arkeologi Sualwesi Utara, sebagaimana yang dilaporkan Sriwigati, diantaranya adalah lumpang-lumpang batu. Temuan yang juga banyak tersebar di wilayah daratan semenanjung Minahasa, terutama Minahasa bagian selatan dan tenggara.
Selain lumpang batu, temuan yang terbanyak adalah kubur batu. Setidaknya tercatat 39 situs, dengan temuan kubur batu mencapai 644 buah yang tersebar di dua Kecamatan, yakni Kecamatan Manganitu Selatan dan Kecamatan Tamako.
Temuan ini kemungkinan akan bertambah banyak lagi mengingat lokasi sumber bahan batuan berada di wilayah sekitar. Masyarakat menyebut kubur batu itu dengan nama Lebbing. Kubur batu terdiri dari batu pipih, rata, dan tidak terlalu tebal, yang diatur berbentuk kotak, dua sisi pendek dan dua sisi lainnya lebih panjang.