Tulisan ini bukan tentang analisa politik, walaupun kalimat tentang politik tak terhindarkan. Namun saya tidak akan mengurai tentang analisa kondisi perpolitikan tanah air. Hanya menyentil singkat, secuil dan sambil lalu saja.
Dramaturgi Indonesia, melihat panggung depan dan panggung belakang pentas pertunjukan di Indonesia. Yang paling sering tampil di pentas pertunjukkan di Indonesia, pada umumnya adalah pentas perpolitikan. Itu pertunjukkan yang tampil paling dominan. Bahkan paling dihapal.
Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul "Presentation of Self in Everyday Life" (wikipedia).
Perhelatan politik tanah air, sesekali kita lihat dalam kacamata budaya dan antropologi sosial. Oleh karena peristiwa politik juga suatu proses atau peristiwa budaya.
Mengapa peristiwa politik di Indonesia menjadi penting untuk dilihat dari kacamata sosial budaya? Sepanjang dua musim pemilu presiden yang sudah kita lalui. Dinamika politik begitu hebatnya.
Arusnya bukan main membuat banyak pihak seakan terbawa suasana panas pilpres. Fenomena cebpretdrun sangat hingar bingar. Ah... sudahlah kita lewati saja. Walaupun itu juga menjadi fenomena yang aktual sepanjang perdebatan politik pada perhelatan politik sejak pilpres 2014-2019 yang sudah berlalu.
Fenomen politik yang kencang demikian, karena masyarakat melihat fenomena politik demikian lugasnya. Melihatnya hanya yang tampak di media televisi, maupun yang terpampang dalam narasi-narasi berita teks. Termasuk juga dalam berbagai opini di berbagai media. Baik media konvensional maupun media online.
Media mainstream maupun media sosial. Bahkan kita menjadi tidak cukup peka, bahwa ada setting panggung belakang yang memang sengaja menata pentas agar dapat terlihat dari banyak sudut pandang, juga agar tumbuh perdebatan. Lalu siapa yang menata panggung belakang? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Semua itu adalah fenomena yang tampak di panggung depan. Kita tidak pernah tahu, juga tidak pernah membayangkan bagaimana yang tampak di panggung belakang. Demikian kata dramaturgi, fenomena pangung depan dan panggung belakang kehidupan.
Keluguan kita dalam melihat suatu fenomena, membuat kita mudah terbawa arus. Perdebatan demi perdebatan dipertotontonkan. Juga dinarasikan melalui teks-teks kalimat yang sumir, karena kita melihatnya dalam potongan-potongan peristiwa di pentas panggung. Padahal semua pentas pertunjukkan itu memang demikian skenarionya, juga setting panggungnya.
Setiap peristiwa yang kita lihat baik kita lihat secara langsung maupun di televisi, kita pahami sesuai yang terlihat secara kasat mata. Lalu beberapa orang diantaranya menuliskannya dalam berbagai opini. Lalu opini itu menyebar dan menjadi perdebatan, karena cara menerjemahkan yang berbeda.