Lihat ke Halaman Asli

Wuri Handoko

TERVERIFIKASI

Peneliti dan Penikmat Kopi

Lusy Mariana Pasaribu, Ibu Srikandi Puisi Kompasiana

Diperbarui: 12 Oktober 2020   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar olahan pribadi. Sumber : Kompasiana

Lusy Mariana Pasaribu, adalah sedikit kompasianer wanita yang konsisten menulis puisi dalam setiap unggahan konten-konten Kompasiana. Sama halnya dengan tiga Srikandi Puisi Kompasiana (SPK) yang sudah saya unggah terdahulu. Ada banyak masukan dan saran untuk saya, untuk memasukkan Lusy Mariana Pasaribu, ke dalam artikel saya sebelumnya. 

Lusy Mariana Pasaribu, saya sebut dengan hormat, sebagai salah satu Ibu Srikandi Puisi Kompasiana. Tanpa bermaksud menafikkan kompasianer wanita lainnya, yang juga konsisten di jalur puisi. Namun nama LMP melekat dalam keseharian mata saya, menjelajahi dunia puisi Kompasiana. 

Sebenarnya, tanpa saran Kompasianer lainnya, maksud saya itu sudah ada. Tapi saya memang sangat terbatas dalam memahami puisi. Adapun ketiga srikandi puisi sebelumnya, saya berani mengulas, karena sesuai pemahaman sederhana saya tentang puisi. Yakni kata, bahasa dan makna. Dari ketiga srikandi puisi sepertinya saya lebih mudah mengeja maknanya.  

Bagaimana dengan puisi LMP? Saya harus akui, saya butuh sedikit ritual yang lebih untuk mengeja makna. Sekali lagi karena saya awam soal kebahasaan dan kesusastraan. Kecuali memang hanya menyandarkan pada naluri, intuisi dan imaji semata. Membaca puisi LMP, saya akan larut dulu terbang bersama angin malam, dimana cahaya imaji saya perlu meraba-raba makna. 

Bukan karena kegelapan, tetapi karena malam menyemburatkan cahayanya yang samar. Puisi LMP, ibarat kita menikmati rasa, kita tahu makanan ini nikmat, tapi saya merasa dalam sensasi keterasingan, karena baru mengenal mekanan itu. Lalu, ingin terus mencoba dan mencobanya, hingga sampai pada kenikmatan yang tak perlu lagi jeda untuk mengunyahnya.  

Tapi justru itu, kita menjadi larut dan ingin mencoba terus. Membaca dan mempelajari makna dibalik kata. Sebenarnya, dalam kacamata awam saya, dalam puisi LMP setiap kata sederhana, namun ketika terangkai dalam kalimat, menjadi sebuah pengembaraan, yang bagi saya, itu membutuhkan perenungan. Tidak seperti ketiga srikandi puisi kompasiana yang lain, sekali kunyah, sekali telan, sekali lahap dan saya langsung bisa mencerna. Puisi LMP, saya merasa kenikmatan yang berbeda. Justru itu kelebihan dari puisi-puisi LMP. Bentuk puisi yang berbeda dan juga karakter bahasa yang juga berbeda.  

Sekali lagi, pandangan saya ini bukan karena saya paham tentang puisi dari sisi teori bahasa dan sastra. Tapi lebih ke soal bagaimana saya menikmati menurut naluri dan imaji saya. Pendapat saya mungkin saja tidak selaras dan serasi dengan para penikmat lain, apalagi sastrawan mumpuni. Mohon saya tidak dibully, ini hanya ungkapan intuisi.

Puisi LMP, dalam kacamata saya, sepertinya banyak mengungkapkan suasana batin. Tapi...eits, tunggu dulu, suasana batin siapa gerangan? Itupun sulit dinisbikan. Hal ini karena dalam genre fiksi seperti puisi, kata ganti aku belum tentu mewakili penulisnya. Juga kata ganti kamu, belum tentu mewakili orang ketiga. Semua dalam bayangan samar. Begitu, menurut saya. Tetapi, dalam puisi sebagai karya sastra, yang mengungkap isi hati penyair, tidak menutup kemungkinan penyair menceritakan diri orang lain, dengan cara merupakan dirinya. Atau sebaliknya. 

Baiklah, saya tidak akan membincangkan soal ini. Karena soal ini butuh keahlian membaca dan mengeja makna dengan tingkatan ritual yang lebih tinggi. Saya kuatir, saya menyalahi pakem. Serahkan saja sama ahlinya kalau soal ini. Namun, kembali soal intuisi, saya membaca puisi-puisi LMP, ada suguhan rasa yang dalam soal diri disitu. 

Beberapa ya, tidak semuanya. Saya pernah menulis, bahwa bahasa kita itu sesungguhnya mengabarkan soal kita. Bahkan dengan cara yang paling tersamar sekalipun. Lagi-lagi, saya tidak bicara atas nama teori kebahasaan, namun hanya intuisi dan mungkin kebiasaan. Karena dalam setiap diri dari kita, ada jati diri yang bisa terungkap kapan saja, melalui tutur kata dan bahasa. Ini soal budaya, artinya soal tingkah laku. Bahasa adalah tingkah laku yang terwakili melalui kata. Jadi membincangkan tentang semua diri kita, adalah membincangkan kebudayaan. 

Sebenarnya, saya ingin membahas intuisi saya saja dalam membaca puisi. Tidak ingin membincangkan perihal yang sarat dan berat. Jadi dalam imaji saya membaca puisi LMP, saya merasakan adanya getaran. Getaran penulisnya, dalam menuangkan rasa ke dalam kata dan bahasa. Setiap rangkaian kata puisi LMP adalah getaran. Ada kedalaman suasana batin. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline