Lihat ke Halaman Asli

Wuri Handoko

TERVERIFIKASI

Peneliti dan Penikmat Kopi

Kekasih Angkasa dan Sepasang Sepatunya

Diperbarui: 15 September 2020   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar olahan pribadi

Maya, kekasih virtualku sudah lama sekali tidak menghubungiku. Sebenarnya aku tak suka menyebutnya kekasih virtual, kesannya kekinian. Padahal kami generasi jadul. Jauh sebelun trend virtual muncul. Tapi begitu nyatanya. Dia punya istilah sendiri soal itu.

Dia menyebut dirinya kekasih angkasa. Terserahlah. Kami memang belum pernah berjumpa. Hanya bersua pandang saja. Di angkasa. Samar dibalik kaca. Di dalam kotak persegi dan berjarak. jauh, tak terkira. 

Tanpa bertemu, apalagi bercinta. Aneh. Iya, memang aneh. Biar saja. Selama empat tahun mengenal Maya, memang tak pernah sekalipun berjumpa. Tapi, entahlah kenapa kami tetap bersahabat baik. Walaupun dia meninggalkanku dan memilih orang lain. Iyalah, terang saja. Kekasih yang nyata. Saat ini, Maya hidup bahagia bersama suami dan keempat anaknya. 

Dua anak Maya, aku hapal benar. Sejak perkenalan dan menjalin ikatan kasih angkasa, akulah ayah bagi dua anaknya dari suami yang terdahulu. Setidaknya, itulah predikat yang Maya sendiri sematkan padaku buat dua anaknya itu.

Maya, menikah dengan seorang duda beranak satu yang ditinggal mati istrinya. Dan dengan Maya, kini punya satu anak. Mereka hidup bahagia. Dan aku pikir Maya sudah lupa dan tidak pernah berpikir lagi tentangku. 

Tiba-tiba dering ponselku yang cempreng itu menyalak lagi. Dering khusus yang memang kupasang hanya untuk panggilan dari Maya. Setelah beberapa tahun lamanya, sejak kami mengakhiri perjumpaan angkasa itu. Malam kemarin Maya menelponku lagi. 

*******

Malam ini kembali bergemuruh. Bukan gemuruh angin di luar rumah. Tapi di dalam dadaku. Gemuruh sisa malam kemarin yang tak hilang juga. Gemuruh yang menyelipkan tanda tanya besar dengan hati kecil yang tak mampu kuterangkan dengan jernih. Gemuruh yang aneh, yang tak bisa kujelaskan. Gemuruh yang tak tahu darimana datangnya, pun kemana perginya nanti.

Mungkin lebih baik memang kudiamkan saja gemuruh ini. Mungkin nanti akan sirna dengan sendirinya. Seiring waktu berlalu. Seperti yang sudah-sudah. Ah...sialan jam dinding di rumahku kini tak berjarum. Bagaimana aku tahu waktu ini berlalu membawa gemuruh dalam dadaku. 

Bagaimana cara berdamai dengan gemuruh? Aku masih mempertanyakan waktu. Bahkan ketika malam sudah mendekati pagi. Dan angin malam tak kuasa mengantarku ke dipan bambu. Tempatku biasa menghempaskan diri, berpuas pada ketidaksadaran lelap. 

Gemuruh itu datang lagi. Kali ini menceritakan tentang segala tuntutan-tuntutan pikiranku sendiri. Pada perjalanan siang tadi, kemarin, bahkan siang-siang lalu. Entah siang yang keberapa kalinya dalam tahun-tahun yang sudah tak mampu kuhitung. Siang yang beberapa tahun teriknya memanggang batinku. Membakar. Panas, hingga kering dan tak berbentuk lagi. Hilang. Menguap

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline