Lihat ke Halaman Asli

Wuri Handoko

TERVERIFIKASI

Peneliti dan Penikmat Kopi

Cerpen: Tanda Jingga

Diperbarui: 3 September 2020   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Sumber: https://pxhere.com/

Secarik kertas usang tiba-tiba jatuh di pelupuk mataku, lalu melayang-layang dalam pikiran dan memaksaku mengingat kisah lima tahun yang lalu. Kertas putih usang yang lusuh yang pernah kusimpan di atas lemari yang umurnya lebih tua dariku. Secarik kertas yang pernah kutulisi tentang diriku sendiri dan juga tentang Jingga, wanita yang pernah membuatku hampir gila. Kertas yang dulu berwarna putih bersih dan kini berwarna coklat dan berdebu. Kutiup debu yang menempel di kertas lusuh itu, sehingga baris-baris kalimat yang pernah kutulis itu bisa terbaca lagi.

Jingga, hari ini adalah hari dimana kau harus menjauh dari hidupku, karena kau sudah tidak lagi mengerti tentangku, tidak mengerti apa-apa
tentang semua yang pernah aku lukiskan tentang kau dalam hatiku. Atau kau sendiri yang sudah tidak mau mengerti karena mata dan hatimu
sudah kau tutupi dengan kisah barumu bersama angin yang membawamu ke kursi pelaminan, yang katanya tidak kau kehendaki. Tapi kau
tersenyum bahagia dan mencibir di belakang punggungku. Mungkin...

Baiklah Jingga, jika hidupmu lebih bahagia dan kau bisa menari-nari gembira di udara, melayang-layang ringan karena tak lagi punya beban
yaitu aku, dan kau bisa bebas melangkah ke cakrawala, atau di tepi muara, seperti yang selalu aku janjikan dan tak pernah aku mampu wujudkan,
maka tepatlah jika kau menjauh dariku. Dan kuyakin kau takkan menoleh lagi melihatku mengutuk diri. 

Jingga, aku tahu hari-harimu dulu bersamaku adalah kepahitan hidupmu, dan bersamaku adalah ujian hidup yang tak ada habisnya kau pikir. Jadi ketika kau memutuskan menjauh dariku, adalah keputusan mengakhiri masa ujianmu. Walaupun ujian dalam hidup sebenarnya adalah perjalanan yang tak ada kata akhir, kecuali kau mengakhiri hidupmu. 

Baiklah Jingga, aku tahu semangat hidupmulah yang mendorongmu menjauh dariku, karena bersamaku adalah keputusasaan yang senantiasa
bergelanyut tak menentu. Dan aku bahagia, ketika semangatmu itu juga membuatku harus tegar menjalani hidup dengan semangat baru tanpa harus
bergantung padamu. 

Semoga kau bahagia Jingga....

 Aku, Agustus, 2015

***

Secarik kertas yang menuliskan kenangan tentangku dan Jingga itu, tiba-tiba saja ada di telapak tanganku dan memaksaku untuk membacanya. Kenangan lima tahun lalu itu membuat purnama tiba-tiba seperti masuk ke dalam otakku dan mengirimkan cahayanya ke dalam memori dan menari-nari dalam kornea mataku. Lalu tiba-tiba hujan, mengguyur seluruh tubuhku, dan seluruh butiran airnya, masuk ke dalam pori-poriku, lalu mengalirkan buih-buihnya yang sejuk ke dalam urat nadi dan masuk ke dalam jantungku.

Mengenang lima tahun lalu bersama Jingga membuatku seakan ku tak pernah beranjak dari perjalanan waktu. Jam dinding seperti berhenti berdetak, aku seperti tak pernah beranjak menyusuri perjalanan yang sunyi, dan aku seperti tak pernah beranjak dari bangku taman, di suatu senja, ketika kata-kata perpisahan tiba-tiba keluar dari mulutku. Kata-kata yang kupaksakan keluar, dan aku mengenang penyesalan, walaupun hanya sepersekian detik setelahnya, akulah yang kemudian ditinggalkan.

Aku sudah tak tahu lagi dimana Jingga sekarang, walaupun setiap lekuk tubuhnya, aku sangat hapal, karena hampir setiap malam selalu saja kususuri dalam suatu perjalanan yang liar, dan selalu kami akhiri dengan lenguhan serigala lapar di suatu malam. Malam yang sebenarnya awal dari sebuah pertemuan yang menggebu-gebu. Begitu saja selalu, dalam perjalanan yang tak pernah kami pastikan seperti apa penghujungnya, dalam lima tahun kami itu. Dan ternyata, kisah kami berakhir di sebuah taman di tepi kota, pada suatu senja, lima tahun lalu. Dan masih saja terngiang di kepala.

Aku sendiri setelahnya, bahkan hingga detik saat tanpa sadar kujatuhkan kertas lusuh itu dari genggaman.

“Sudahlah Tan, Jingga sudah tenang, sebaiknya kau doakan saja dia, supaya dia lebih tenang dan kau juga tenang dan tak terus menerus terguncang”. Tiba-tiba suara lembut Ibu di belakangku, menyadarkanku dari lamunan.

“Iya Bu, tak pernah menyangka dan membayangkan Jingga bakal pergi selamanya, tanpa sekalipun kami berjumpa setelah lima tahun” kataku menjawab kalimat Ibuku yang tahu betul bagaimana perasaanku saat ini.

Tanda, iya itu namaku dalam panggilanku, yang diberikan oleh seorang ayah yang hanya sempat menitipkan nama anak lelakinya pada ibuku yang terpaksa harus sendiri mengurusnya. Tanda Kurniawan, seorang laki-laki yang diberi tanda karunia. Begitu kata Ibuku mengartikan namaku. Iya aku, dilahirkan saat ayah dalam keadaan sakit berat dan sekarat, lalu meninggalkan ibu dan aku untuk selama-lamanya. 

***

Keesokan paginya, dengan langkah berat dan hati yang berkeping-keping, aku menuju tepi kota, di mana pusara Jingga, masih hangat saat pemakamannya kemarin. Aku tak kuasa hadir di pemakamannya. Aku tak ingin hatiku berguncang hebat di tengah pemakamannya. Aku tak ingin orang-orang melihatku histeris atau pingsan. Maka lebih baik kutenangkan diri di kamar dan membaca kembali kertas usang tentangku dan Jingga, yang justru membuatku tenang, karena lima tahun lalu, seolah kemarin yang membahagiakan. 

Benar, persis lima tahun perjalananku bersama Jingga. Saudara-saudaraku, teman dan sahabat serta semua orang yang pernah mengenalku, bahkan mungkin seluruh dunia, selalu memanggil kami Tanda Jingga, dalam setiap kali kesempatan kami hadir. Hampir setiap detik, setiap menit, setiap waktu dalam jam, hari, minggu, bulan dan tahun sepanjang lima tahun itu kami selalu bersama hadir. Seolah kami adalah satu frase kata, Tanda Jingga. Dimana ada Tanda, disitu pasti ada Jingga, begitu juga sebaliknya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline